Bab 02. Dia Tak Pantas Untukmu

4.8K 846 40
                                    

"Masih enggak mau keluar?"

Thalia hanya mampu menjawab pertanyaan Dinda dengan gelengan kepala. Sekali lagi Dinda mengembuskan napas kasar lalu mengambil alih baki yang dibawa Thalia.

"Mbak, Thalia ...."

"Iya, Mbak ngerti. Kamu buka pintu kamarnya, biar Mbak yang bujuk." Walaupun Dinda tidak yakin, tetapi ia tahu sahabatnya bisa melalui ini semua..

Ketika pintu sepenuhnya terbuka, hampir saja Dinda menitihkan air mata. Semua sudah hampir siap. Kain penghias kamar pengantin telah terpasang. Pakaian yang seyogyanya dikenakan Rania hari ini, tampak begitu menyedihkan di pojok ruangan.

"Ran?"

Mendengar suara Dinda yang memanggilnya, Rania cepat-cepat menutup kepalanya dengan selimut. Ia enggan untuk bertemu dengan siapa pun tanpa terkecuali.

Dinda meletakkan baki di nakas lalu duduk di samping Rania. "Ran, gue tahu lo dengar omongan gue. Bangun, Ran, mandi. Tunjukkin ke dunia kalau lo bisa bangkit lagi," bujuknya.

"Lo ngomong kaya gitu karena lo enggak ada di posisi gue!"

Dinda menggigit bibir, berusaha keras untuk tidak terbawa dengan kesedihan Rania. "Ya, gue memang enggak ada di posisi lo, tapi ini semua bukan cuma tentang lo aja, Ran," bujuknya lagi.

"Gue enggak mau ngomong! Keluar, Din. Seharusnya, seharusnya hari ini jadi hari paling bahagia buat gue. Kenapa Ardi tega banget? Apa salah gue? Selama ini, kita selalu sama-sama. Sepuluh tahun, sepuluh tahun, Din,"

Dinda tercekat oleh air mata yang coba ia tahan. Rania boleh menangis, tidak ada yang bisa mencegahnya, tetapi hidup akan terus berjalan. Harus berjalan.

"Tapi bukan berarti lo harus kaya gini, Ran," lirih Dinda.

Seketika Rania membuka selimut lalu bangkit dari duduknya. "Terus gue harus kaya gimana? Gue harus kaya gimana? Semuanya sudah siap, orang tua gue, keluarga gue, Ardi udah ngelempar kotoran ke muka gue!!" marahnya.

"Ya terus kenapa lo harus terus nangisin dia kaya gini?" timpal Dinda.

Rania yang sudah mengira air matanya mengering, kembali menumpahkan semua yang masih coba ditahannya.

"Apa salah gue, Din? Kenapa dia kaya gini?" tanya Rania dengan suara serak.

"Lo enggak boleh salahin diri sendiri. Dia memang bukan lelaki yang pantas buat lo. Ran, jangan kaya gini," bujuk Dinda yang kemudian menggenggam erat tangan Rania.

"Gue enggak bisa, gue enggak bisa, Din. Gimana gue hidup tanpa Ardi, harus gimana, Din?"

"Ya terus lo mau gimana? Lo mau datang ke Ardi? Mohon-mohon supaya pernikahan kalian tetap terlaksana, gitu? Lo udah gila? Kalau Lo mau mati, oke, mati aja sana! Mau pakai cara apa? Pake racun? Gantung diri? Atau pake silet? Gue bantuin lo cari barang-barangnya!" marah Dinda dengan air matanya yang luruh beranak sungai.

"Din,"

"Lo enggak sendirian, ada keluarga lo. Enggak ada yang bisa tebak jalannya takdir, Ran. Gue memang enggak ada di posisi lo, tapi percaya sama gue, suatu saat nanti ... kita pasti bisa menertawakan kejadian ini, percaya sama gue," bujuk Dinda lagi.

"Kenapa harus gue, Din? Kenapa?"

Dinda menyeka air matanya lalu menangkup pipi Rania. "Lo lihat gue. Jawaban gue memang basi, tapi Tuhan sayang sama lo. Bagaimana kalau kita tahu semua ini setelah kalian nikah? Tuhan sayang sama lo dan yakin semua ini pasti bisa berlalu dengan baik. Percaya sama gue," jawabnya.

Perlahan, tetapi pasti kepala Rania terangguk pelan. Senyum Dinda berhasil memaksa segaris tipis tercipta di wajah Rania.

"Nah, gitu dong. Payah lo, harusnya kemarin lo enggak cuma tampar dia, ngapain kek. Gue enggak puas kalau belum cakar tuh muka si Brengsek!"

Dekapan Dinda membuat tangis Rania pecah. Semuanya luruh, penyesalannya hanyut terbawa derai air mata.

***

Rania mencengkeram erat tali tasnya. Berulang-ulang kali ia bergumam, tidak ada celah untuk mundur, tidak, tidak Rania.

Kakinya melangkah pasti, melewati lobi dengan tatapan semua yang tertuju mengikuti gerakan tubuhnya. Walaupun canggung, Rania berusaha sebisa mungkin membalas senyuman orang yang berpapasan dengannya.

Samar-samar, Rania bisa mendengar bisikan orang yang kemudian menatap penuh rasa iba dan ia benci dikasihani.

Langkahnya terhenti ketika tiba di ruangan kerja. Suasana yang tadinya ramai mendadak hening. Tatapannya berpindah dari kubikel miliknya hingga ke kubikel milik Veronika yang tampak kosong.

"Ran, sudah masuk?" tanya seorang gadis berkacamata yang duduk bersebelahan dengan kubikelnua.

Rania tersenyum. "Iya, cutinya sudah habis," jawabnya.

Gadis itu menggaruk ujung alisnya tanpa mau lagi bertanya. Rania mengerti, pasti sulit untuk mengembalikan suasana, tetapi Dinda benar, ia tidak bersalah dan tidak seharusnya juga mundur dari perusahaan.

Pintu ruang kerja Ardi terbuka dan lelaki itu tampak tidak siap ketika melihat Rania berdiri di hadapannya. Terlebih ketika gadis itu tersenyum lalu sedikit membungkukkan tubuhnya.

Sekali lagi Rania menggigit bibir bagian dalamnya lalu mendekati Ardi. "Makan siang nanti, kalau kamu enggak keberatan, kita perlu bicara," tuturnya.

Ardi kesulitan mencari seutas udara yang mendadak hilang di sekitarnya, tetapi dengan pasti akhirnya ia bisa mengangguk setuju.

***

Bohong rasanya bila ada yang berkata Rania sudah bisa merelakan semuanya. Munafik bila mengatakan Rania ikhlas menerima guratan takdir ini, tetapi bukan berarti Rania harus terus berkubang dalam rasa sakit tanpa mampu membaginya dengan Ardi.

"Aku minta maaf," tutur Ardi setelah seorang pelayan yang meletakkan pesanan mereka pergi.

Kalimat itu tidak cukup diucapkan Ardi. Lelaki itu berhutang maaf bukan hanya padanya.

Rania menyesap jus jeruk. Ia memastikan kerongkongannya terbasahi untuk mengucapkan kalimat terakhir sebagai kekasih yang telah dikhianati Ardi.

"Aku mau kita putus," tutur Rania. Ardi mendongak, ucapan Rania membuat hatinya mendadak perih. "Ya, aku mau kita putus. Aku ingin kita benar-benar mengakhiri semuanya," lanjutnya dengan dada yang terasa sesak.

"Aku enggak bermaksud untuk mempermainkan kamu, Ran. Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu. Aku khilaf, Ran."

"Khilaf? Kamu ngomong kaya gini, bukan berarti kita bisa memperbaiki semuanya. Bohong rasanya kalau aku bilang sudah enggak ada rasa sama kamu," Cepat-cepat Rania menyeka air matanya. Berkali-kali menarik napas, gejolak dalam dadanya hampir tidak bisa ia tahan.

"Ran, maaf,"

Rania dengan cepat menarik tangannya yang coba digenggam Ardi. "Aku sempat berpikir, kalau ini semua hanya mimpi, tapi setiap kali aku bangun, rasa sesaknya nyata. Rasa pedihnya ada dan aku enggak bisa terus begitu. Aku bukan orang yang munafik dan bisa bilang semoga kamu bahagia dengan Vero. Aku berharap Tuhan dengar rasa sakit aku, keluarga aku. Sampai suatu saat nanti kamu dan Vero merasakan hal yang sama!"

Ardi tercenung. Kepalan tangannya mengeras. Walaupun merasa pantas untuk dikutuk, tetapi ia tidak menyangka akan secepat ini mendapatkan sumpah itu dari Rania.

"Ran,"

"Aku sudah dengar dari teman-teman kalau Vero resign. Aku enggak bisa kasih kalian hukuman secara nyata, tapi Tuhan Maha Adil. Dia menghukum kalian dengan cercaan yang alhamdulilah bukan berasal langsung dari aku,"

"Rania,"

Rania mengusap air matanya lalu tersenyum. "Sayangnya kita masih akan sering ketemu, aku enggak akan mundur, kamu tahu aku enggak semudah itu untuk mundur,"

Tidak ada lagi kata yang bisa terlontar dari bibir Rania, digenggam erat gelasnya. Kalimat yang dilontarkan Dinda terngiang kembali.

Tanpa aba-aba, Rania menyiramkan jus jeruk ke wajah Ardi yang seketika bangkit

"Dinda benar. Tamparan itu enggak cukup!" desis Rania

Perfect Stranger (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang