Bab 3. Berhati-hati Bukan Trauma

4.4K 756 15
                                    

Tahun berlalu, berbagai badai datang silih berganti, tetapi bagian yang dirusak oleh Ardi meninggalkan kesan mendalam yang sulit untuk diobati

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Ardi mengundurkan diri dari perusahaan dan setahun kemudian Rania memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan menerima tawaran pekerjaan di tempat Dinda meniti karier.

Di sinilah ia berada sekarang. PT Trans Logistik. Disegani banyak relasi, berkepribadian ramah membuat seorang Rania Andara bisa melejitkan karier dari supervisor menjadi customer service manager.

Dalam kurun waktu enam tahun, Rania mampu membuktikan ia bisa bangkit kembali, tetapi ....

"Jadi, kapan kawin?"

Rania menurunkan lembar kertas laporan dari pandangannya. "Lo, ke sini pagi-pagi cuma buat tanya hal basi itu?" sergah Rania.

Dinda menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Hal basi yang akan ditanya saat lo kumpul keluarga, arisan, reuni, ahh, pas hari raya," timpalnya tak mau kalah.

Rania meletakkan kembali kertas-kertas itu, pandangannya kini terfokus pada Dinda. "Ya, terus?"

"Terus? Ya, gue yang terus-terusan ditanya Tante Dewi! Tanya, lo masih doyan cowok apa enggak?" jawab Dinda polos.

Great, welcome to my life, batin Rania.

"Gue bosen bahas ini," sergah Rania.

"Apa lagi gue, Ran! Ya, seengganya lo buka hati sedikit, banyak gentleman di luar sana yang bisa bahagiain lo," bujuk Dinda.

"Gue enggak mau menyandarkan kebahagiaan gue di tangan orang lain." Kali ini Rania memindahkan matanya ke layar komputer. Pagi ini ada rapat penting dengan calon pelanggan dan sedikit kesalahan bisa menorehkan cacat dalam riwayat kariernya. Jadi, lebih baik Dinda pergi secepat mungkin.

"Lo enggak kasihan sama Thalia gitu?"

Astaga, tentu aja Dinda tidak akan sudah itu dikalahkan. Ia kembali menatap Dinda. "Kenapa jadi bawa-bawa Thalia?"

"Ya, maksud gue, Thalia 'kan udah punya pacar, mereka mulai serius. Gue dengar juga, kayaknya pacar Thalia sudah bisa mandiri, kariernya bagus," jawab Dinda penuh kehati-hatian.

"Si Bisma? Mereka baru tiga tahun pacaran, Din,"

"Ya, terus kenapa? Lama atau enggaknya pacaran, enggak menjamin buat maju ke pelaminan, 'kan?"

"Lo nyindir gue?"

Dinda mulai menarik tubuhnya dari tatapan Rania. Ia bergegas bangkit. "Jangan lupa, morning meeting jam delapan, bye," pamitnya.

Rania kembali menatap layar monitor. Sialnya, ucapan Dinda terus datang. Seharusnya, Rania sudah terbiasa dengan pertanyaan itu, tetapi entah mengapa hatinya selalu saja menyimpan sesuatu yang tidak mampu dijabarkan.

***

Baru saja Rania bersiap mengistirahatkan tubuhnya, tetapi suara ketukan di pintu kamar, memaksanya untuk kembali bangkit.

Kepala Thalia menyembul dari balik pintu. Senyuman adiknya itu terlalu mencurigakan. Terlebih ketika Thalia masuk dengan membawa baki berisi segelas teh juga beberapa potong brownies kesukaan Rania.

"Ada apa? Tumben, kamu bawa langsung ke kamar Mbak," tanya Rania.

Thalia duduk di sebelah kakaknya. "Mbak, ada temannya Mas Bisma yang—"

"Mbak sudah bosan sama rencana kalian. Stop berusaha jodoh-jodohin Mbak sama teman-temannya Bisma," potong Rania.

"Mbak, sekali ini aja, Mbak," bujuk Thalia.

Kali ini Rania memandang wajah adiknya yang sudah dewasa, tanpa Thalia menjelaskan ucapannya. Rania mengerti akan kekhawatiran keluarga termasuk sahabatnya, Dinda.

Apa salahnya dengan lebih berhati-hati? Pengalamannya akan cinta menyadarkan Rania untuk lebih selektif lagi dalam menjatuhkan posisi rekan hidup, terlebih setelah melabuhkan hati, sulit bagi Rania untuk tidak menyerahkan seluruh hatinya pada lelaki itu.

"Kalau waktunya sudah tepat. Mbak akan ajak calon pendamping hidup Mbak ke rumah," tutur Rania walaupun tidak yakin kapan hal itu akan terjadi.

Thalia hanya mampu mengangguk sembari tersenyum. Di satu sisi, Thalia ingin Rania berjalan sesuai dengan rencananya, tetapi di lain tempat, Bisma mulai meminta hubungan yang lebih serius dari ini.

"Mbak, Mas Bisma mau minta izin sama ayah untuk ...."

Rania menggigit sedikit bibir bagian dalamnya lalu mengusap punggung Thalia. "Kalau Bisma memang sudah serius sama kamu, Mbak enggak apa-apa kalau harus kamu langkahi,"

"Tapi ayah sama ibu enggak akan setuju, Mbak,"

Rania diam, memang orang tuanya sulit untuk menyetujui hal itu, tetapi sulit bagi Rania membuka hatinya lagi.

***

Pernah dibuai mimpi dan akhirnya jatuh ke lubang tanpa dasar membuat Rania selalu waspada malah terkesan menaruh curiga pada lelaki yang mendekatinya.

Rania mendesah kasar. Ia tidak ingin menjadi penyebab seseorang sulit melanjutkan hidup, tetapi Thalia benar, orang tuanya pasti tidak mengizinkan Thalia lebih dahulu menikah.

"Kenapa?" tanya Dinda keheranan karena Rania terlihat sangat cemas bahkan belum menyentuh makan siangnya.

"Thalia akhirnya bicara soal Bisma," jawab Rania.

"Begini, ibaratnya, lo beli mangga dan rasanya ternyata asam. Nah, dari pengalaman yang itu, lo langsung menilai semua mangga di dunia ini asam. Enggak adil, 'kan?"

Rania kembali meletakkan sendoknya. "Semua cabe rasanya sama, pedas!" timpalnya.

"Tapi selera orang berbeda-beda,"

"Ya dan enggak berhak mencampuri itu!"

Dinda diam lalu ikut meletakkan sendoknya. "Lo mau curhat atau ngajak ribut?"

Rania tertawa kemudian menyeruput teh manis miliknya. "Ya. Jadi, gue harus gimana?" tanyanya pasrah.

Dinda kembali meraih sendoknya. "Kali ini, lo serius?" selidiknya.

"Gue enggak punya pilihan. Seenggaknya, cowok itu bisa memberikan jalan agar Thalia dan Bisma bisa menikah,"

Dinda meraih tangan Rania lalu mengusap punggung tangannya. "Lalu kapan lo mulai memikirkan kebahagiaan lo sendiri?"

Rania menarik tangannya. "Yang pasti, gue enggak mau Thalia susah karena gue," lirihnya.

"Lo pernah enggak, berpikir, bagaimana keadaan Ardi sekarang? Apa lo enggak mau balas dia dengan kebahagiaan lo bersama lelaki lain?"Melihat perubahan dalam air wajah Rania, Dinda menyadari bahwa berondongan pertanyaannya menusuk hati Rania. "Ran, berdamailah dengan hati lo sendiri. Sekarang permasalahannya bukan sama Ardi atau rasa trauma lo, tapi ini benar-benar tentang lo sama hati lo."

Rania mengangkat wajahnya. Entah mengapa senyuman Dinda, memancing bibirnya untuk ikut melengkung.

"Jadi, gue harus gimana?" tanya Rania pasrah.

"Lo ingat enggak, Mbak Citra yang minggu lalu nikah? Dia dapat jodoh lewat aplikasi matchmaker online gitu," jawab Dinda penuh semangat kemudian meraih ponselnya.

"Maksudnya aplikasi dating online gitu?" tebak Rania.

"Yups, ini,"

Rania meraih ponsel yang disodorkan Dinda. "Madam Rose?"

"Yes, Madam Rose, makes your dream comes true,"

Rania kembali menatap Dinda, keraguan jelas tercipta dalam benaknya, tetapi apa benar Rania mampu menyerahkan mimpi cintanya pada aplikasi kencan online?

Perfect Stranger (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang