Bab 04. Janji

4.1K 731 10
                                    

Diamatinya lekat-lekat logo huruf M besar dengan warna merah di layar ponsel. Entah, kegilaan apa yang menghinggapi Rania, hingga mau mendengarkan Dinda.

"Ini demi Thalia, setelah urusan selesai, maka semuanya selesai," gumamnya berulang-ulang lalu menekan ponsel sembari mengigit bibir.

Kelopak mawar seakan beterbangan di layar ponsel Rania lalu meninggalkan tulisan Madam Rose di tengahnya.

"Izinkan aplikasi mengakses lokasi perangkat? Ah, tidak perlu," gumamnya yang dengan yakin menekan tombol merah lalu layar pun berganti dengan formulir identitas diri.

Cukup lama Rania menatap ponsel hingga akhirnya memilih menyelipkannya di bawah bantal. "Terserahlah! Aku tidak peduli!"

***

Berulang-ulang Rania mengetuk-ngetuk ujung pena ke dahinya. Setelah pertemuan pagi dengan kolega serta atasannya, kepala Rania seakan diputar seratus delapan puluh derajat.

Kesanggupan pengiriman hampir seribu sak karung beras ke Pontianak dari Jakarta, membuatnya pusing sendiri.

"Oi?"

Rania menoleh. Tahu kalau Dinda tetap akan memaksa masuk walau diusir, memilihnya diam saja ketika Dinda benar-benar masuk ke ruangan kerjanya.

"Apa? Gue sibuk, Din," tuturnya cepat tak mau berbasa-basi.

"Halah, serius amat. Sebentar lagi makan siang, ini masih ngurus beras, ya?" tebak Dinda yang melirik dokumen di tangan Rania.

"Iya dan sebaiknya lo keluar, deh. Nanti, gue ke ruangan lo? Oke?" mohonnya sembari melipat tangan di dada.

"Sebentar, gue mau tanya, lo udah download aplikasinya?" selidik Dinda.

"Sudah, ini," jawab Rania sembari menyodorkan ponselnya.

Dinda tersenyum puas lalu mengeluarkan ponselnya. "Sebentar, gue cek dulu profil lo, ya?"

"Enggak ada,"

Sekali lagi Dinda menatap tajam Rania. "Maksudnya?"

"Gue belum ada waktu buat isi," jawabnya asal.

Dinda diam sejenak lalu meraih ponsel Rania. "Sini, biar gue yang isi,"

Rania merebut kembali ponselnya dan kali ini menatap Dinda tanpa ada sedikitpun rona santai seperti biasanya. "Berhenti urusin gue! Just stop it! Gue tahu lo peduli, tapi enggak begini caranya."

Dinda tercenung. Walau Rania tidak meninggikan suaranya, tetapi ia tahu kalau ucapan sahabatnya itu memang benar-benar bukan sekadar peringatan biasa.

Tanpa berpikir lebih panjang. Dinda bangkit lalu pergi dengan diam seribu bahasa.

Rania memijat dahinya lalu berkali-kali memukul kepala. Penyesalan itu segera menyergap dada. Hingga akhirnya Rania kembali meraih ponsel serta mengamati logo aplikasi jodoh yang dibicarakan Dinda.

Hari itu, tampaknya awan mendung masih menaungi kepala Rania. Melihat dari kejauhan ada dua mobil yang terparkir di depan rumah, terpaksa Rania memarkirkan mobil di bahu jalan lalu berjalan tergesa pulang ke rumah.

Langkah Rania kembali terhenti kala mendengar ayahnya berbicara.

"Saya, punya dua putri dan putri sulung saya juga belum menikah. Mohon maaf, saya menerima niatan dari keluarga Bisma untuk meminang Thalia, tetapi rasanya ...."

Kali ini, Rania mengigit bibirnya lebih dalam. Bahkan turut merasakan sesak yang menghimpit dada ayahnya.

"Rasanya enggak elok membiarkan Thalia melangkahi putri sulung saya," lanjut Herman yang dibalas wajah muram oleh perwakilan keluarga Bisma, bahkan pemuda itu tampak semakin menunduk lebih dalam.

"Mohon dipertimbangkan lagi, Pak. Ibunda Bisma ... sedang sakit dan kami berharap tahun ini pernikahan putra kami, Bisma dengan putri Bapak, Thalia bisa terlaksana," ucap seorang berpakaian kemeja biru berpeci putih.

Sekali lagi, Rania mendapati wajah muram Herman. Dulu, ia pernah berjanji, tidak akan lagi membuat pria itu bermuram durja, tetapi kali ini, lagi-lagi ia membuat keluarganya kesusahan.

Rania menyeka air matanya lalu berlari kembali ke mobil. Menarik rem tangan serta menekan pedal gas.

Berjam-jam sudah mobilnya melaju tanpa arah. Tidak ingin mendengar suara tangisnya sendiri, Rania menaikan volume musik di dasbor mobilnya.

Hingga di persimpangan menuju Jagakarsa, ia membelokkan mobilnya menuju sebuah taman.

Berkali-kali ia menyeka air mata lalu meraih ponsel di jok sampingnya yang terus bergetar. Melihat panggilan dari sang ibunda, Rania mematikan tape radio.

Berkali-kali ia berdeham lalu menggeser layar ponsel. "Halo, Bu,"

"Ran, kamu di mana? Ini sudah mau Isya. Kamu lembur?" tanyanya di ujung sambungan.

Sekali lagi Rania menarik napas dalam-dalam. "Rania ada sedikit urusan, Bu. Ini sudah mau pulang. Ibu, Bapak sama Thalia makan saja duluan, enggak perlu tunggu Rania. Iya, Bu. Wa'alaikum salam,"

Rania menoleh, tak menyadari lampu-lampu sudah terang benderang, matahari telah lama digantikan rembulan.

Sekali lagi Rania menatap pilu layar ponsel serta mengamati aplikasi dating online yang selalu dibicarakan Dinda.

Cukup lama ia mengamati kolom-kolom yang harus diisi sampai tiba-tiba jemarinya cukup cepat menari di atas permukaan ponsel dan kembali terhenti.

"Nama yang tertera di aplikasi?" cicitnya sembari menatap ke sekeliling mobil dan matanya terfokus pada pengharum mobil yang bergelantung di bawah spion.

***

Menjelang pukul sepuluh, Rania tiba di rumah. Lampu yang terlihat menyala hanya di teras depan saja.

Ia merogoh laci kompartemen dasbor mobil lalu mengeluarkan kunci cadangan.

Langkahnya kembali terhenti saat Rania berada di depan kamar Thalia, perlahan, dengan sangat pelan, Rania memutar palka pintu.

Walau dalam minim cahaya, ia bisa dengan jelas menatap wajah Thalia yang sedang tertidur.

Diusapnya pelan dahi adik kesayangannya itu sembari bergumam, "Maaf, Mbak sudah bikin kamu susah,"

Gerakannya tanpa sengaja membuat Thalia membuka mata. "Mbak?" Sontak Thalia bangkit.

Rania menekan sakelar lampu di dinding lalu duduk di tepian ranjang. "Maaf, kamu jadi bangun," sesalnya.

Berkali-kali Thalia mengusap mata. "Mbak tumben pulang malam. Lagi sibuk, ya?" tebaknya.

"Lia, kamu ... kamu sudah benar-benar yakin sama Bisma?" tanya Rania penuh kehati-hatian.

Seketika rasa kantuk Thalia sirna. Tidak biasanya Rania mau membahas persoalan ini terlebih dahulu. "Aku, aku enggak bisa jawab pertanyaan, Mbak, tapi aku tahu Mas Bisma lelaki yang bertanggungjawab," lirihnya ragu menimpali Rania.

Sekali lagi Rania mengusap pucuk kepala adiknya. "Bilang sama Bisma, awas saja kalau setelah kalian menikah nanti, tahun ini maksudnya, dia bikin Mbak sama keluarga kita kecewa." Mata Thalia mengerjap beberapa kali, bahkan ia tidak tahu bagaimana caranya membalas senyuman Rania. "Dalam waktu dekat, Mbak janji sama kamu, Mbak akan bawa calon suami Mbak ke hadapan ibu sama bapak," lanjutnya

Perfect Stranger (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang