16. Menghindar

398 47 10
                                    

Vote dulu yuk! ✨
Jangan lupa komen ya.

Ray tengah berbaring, membalikkan tubuhnya ke kanan, lalu membalikkannya lagi ke kiri, kemudian menelentangkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ray tengah berbaring, membalikkan tubuhnya ke kanan, lalu membalikkannya lagi ke kiri, kemudian menelentangkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar.

Malam ini, pikiran Ray sedang kacau. Di sekolah, ia mendapat hukuman, dan dirumah pun sama. Ayahnya sangat kecewa dengannya. Sekarang yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya membuat Hanafi memaafkannya.

"Arrghh!" Ray mengacak rambutnya kasar.

Bagaimanapun ini adalah kesalahannya, jadi mau tak mau resikonya harus ditanggung sendiri. Ray menyibakkan selimutnya dan merubah posisi berbaringnya menjadi duduk.

"Gue harus minta maaf," gumamnya.

Ia pun turun dari kasur king sizenya dan segera menemui Ayahnya. Dalam hitungan menit Ray sampai di bawah, matanya mengedar ke seisi rumah, di ruang tamu batang hidung Hanafi tidak kelihatan. Ray pun beralih ke ruang keluarga, tidak ada, ke dapur juga tidak ada.

Langkah kaki membawanya ke teras, dan... alhamdulillah Hanafi dan Azrin ada di teras lagi ngopi santuy.

Kepalanya ia keluarkan sedikit di daun pintu, "Ayah, Bunda?"

"Ada apa Nak?" tanya Azrin.

Tak mau membuang waktu, Ray memberanikan diri menemui Ayahnya, kemudian ikut duduk di satu kursi yang masih kosong. Hanafi sama sekali enggan menatap mata sang anak, ia sibuk dengan korannya. Sementara Azrin memutuskan untuk pergi ke dapur dengan alasan membuatkan kopi untuk Hanafi. Memberikan kesempatan pada anak dan suaminya berbincang.

"Ayah?"

"Hmm?" sahut Hanafi tanpa sedikitpun melihat ke arah Ray.

"Eum... gimana sama kantor Ayah?" tanya Ray berbasa-basi.

"Jangan basa-basi, kalau mau ngomong to the point aja."

Deg!

Wow! Ternyata Ayahnya seperti Dilan, jago meramal. Kalau kata Dilan, aku ramal, kita akan bertemu di kantin. Tapi kalau kata Hanafi, berbeda.

"Aku minta maaf, Yah."

Hanafi menurunkan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, meletakkannya di atas meja, juga korannya.

"Maaf buat apa?"

"Soal di sekolah."

Kemudian Hanafi merubah posisi duduknya, menyilangkan kaki dan tangan yang bersidekap. Matanya beralih menatap anak semata wayangnya.

"Udah minta maaf sama Dania?" tanya Hanafi tanpa mengindahkan permintaan maaf dari Ray.

Ray menggeleng lemah. "Belum Yah."

"Kalau begitu minta maaf dulu sama Dania."

Hanafi bangun, mengambil kacamatanya kemudian pergi meninggalkan Ray sendiri di teras. Ray menghela napas gusar, ternyata tidak enak juga diem-dieman sama Ayahnya sendiri.

Jeruji CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang