Hutan toroto dikenal sebagai hutan dengan sumber daya alam yang melimpah. Keberadaannya sering diperebutkan oleh tiga penguasa besar, alhasil hutan tersebut di bagi rata menjadi tiga bagian. Tepi barat daerah kekuasaan Sunagakure, tepi timur milik Konohagakure, dan tepi utara di kuasai oleh Iwagakure.
Jauh di kedalaman hutan toroto yang dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa dan desingan serangga nampaknya tak mengusik sedikitpun aktivitas pemuda tersebut. Setelan celana kain hitam selutut dengan kaos putih oblong yang tampak kecokelatan nampaknya tidak mengurangi sedikitpun wajah bak keturunan adonis tersebut.
Pemuda itu mengumpulkan kayu bakar dalam keheningan. Tangannya bergerak lincah menumpuk kayu bakar, menggendong di punggungnya lalu mengikatnya dengan seutas kain. Lantas ia bergegas pergi ke pasar desa pinggiran Iwa untuk menawarkan kayu bakar dengan begitu ia bisa membeli beras lalu makan enak hari ini.
“Satu ikat berapa?”
“Empat sen.”
“Tujuh sen dua ikat boleh?” Tawar pembeli yang sudah tidak muda lagi.
“Boleh silahkan dipilih.”
“Terima kasih anak muda semoga kayu bakar mu cepat habis dan kau bisa pulang.”
Sang pemuda hanya mengangguk tanpa suara. Jelaganya memandang sang surya yang semakin menunjukkan taringnya. Pandangannya bergulir pada tumpukan kayu bakar yang masih dua ikat dari lima ikat yang di bawanya. Ia menerobos kantong celananya lalu menghitung koin yang berjumlah sebelas sen.
Pemuda itu memutuskan membawa kembali kayu bakarnya yang belum laku untuk digunakan memasak sendiri. Lagipula ia sudah bisa membeli beras setengah kilo dengan harga sepuluh sen.
“Tunggu, kayu bakar itu bisa aku membelinya?” Napas memburu keluar dari hidung lelaki paruh baya. “aku butuh cepat karena kayu bakar di rumah kami habis, isteri ku akan marah jika aku tidak dapat. Aku akan memberi mu sepuluh sen dua ikat.”
“Delapan sen dua ikat.”
“Ya sudah dua sen nya untuk mu.”
Si pemuda menurunkan kayu bakar dari punggunggnya. “Tidak tuan, delapan sen saja.”
Setelah transaksi sederhana selesai. Kaki telanjangnya kembali melangkah menuju toko sembako, lalu bergegas menuju hutan toroto. Langkahnya terasa ringan dengan sebungkus beras setengah kilo, ibunya pasti akan senang.
Dulu, ibunya akan selalu memarahinya jika ia pergi ke desa manapun. Semakin beranjak dewasa alasan tidak masuk akal ibunya membuatnya sedikit membangkang. Bagaimanapun juga ia membutuhkan barang-barang yang ada di desa untuk melanjutkan hidupnya.
Onyx nya menajam kala mendapati seonggok manusia tergeletak di atas dedaunan kering. Tudung merah yang membungkus sebagian besar kepalanya, gaun putih gading mewah namun terlihat lusuh karena banyak noda tanah. Kemungkinan besar manusia yang ternyata perempuan itu terperosok dari jurang yang hanya setinggi pinggangnya.
Haruskah ia menolongnya?
Tidak, ia hanya harus pulang dan hidup bersama ibunya seperti biasa. Kaki telanjangnya kembali melangkah, namun terhenti ketika langkah ke sembilan. Jiwa baiknya meronta untuk menolongnya, lumayan di jadikan jongos di rumah agar ibunya bisa bersantai setiap hari.
Onyx nya melebar, jantungnya tiba-tiba berdetak keras kala kakinya mendorong pelan tubuh perempuan itu hingga terlentang.
“Hoi, kau pingsan?”
Tanpa pikir panjang ia menggendong gadis itu di punggungnya, Kakinya melangkah lebar menembus rimbunan hutan. Ia harus segera sampai rumah sebelum larangan-larangan ke desa di sahkan oleh mulut ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Korelasi [✓]
Teen FictionDia yang awalnya apatis terhadap sekitar diharuskan berurusan dengan gadis jelita yang ditemukannya di dekat jurang setinggi pinggangnya. Gadis jelita yang selalu membuatnya pusing hingga terpaksa menegak ramuan tradisional hampir setiap hari.