Jangan Kencing Sembarangan!

31 18 53
                                    

Mungkin sebagian besar orang beranggapan bahwa sebuah pohon tua yang berdiri kokoh bukanlah tempat yang perlu ditakuti. Bahkan orang-orang di zaman modern sekarang beranggapan bahwa kencing di bawah pohon, tanpa permisi bukanlah hal yang perlu diwaspasai.

Penunggu suatu tempat bukanlah sosok yang tak perlu dipedulikan. Memang siapa yang akan percaya tahayul di zaman seperti ini? Namun, ku harap setelah kalian setelah membaca kisah ini, kalian akan mengerti bagaimana cara menghormati sesuatu meskipun itu adalah arwah penunggu.

Kala itu umurku masih belia. Sekitar kelas 2 SD ketika aku mengalami kejadian mistis itu. Seperti sebuah tradisi turun menurun, setiap liburan sekolah aku akan pergi ke kampung halaman nenekku. Oh ya, aku akan sedikit bercerita tentang diriku. Aku memiliki keturunan Chinnese dari ayahku, dan rata-rata mereka bisa melihat hal yang tak bisa orang lain lihat. Kalian sering menyebutnya 'Indigo.' Yups! Aku seorang Indigo. Aku bisa melihat mereka, makhluk-makhluk yang kerap kalian sebut sebagai 'Hantu,' dan aku bisa berkomunikasi dengan mereka.

Pagi itu, hari masih terlalu pagi. Bahkan Matahari baru saja muncul dari ufuk timur. Aku suka suasana seperti ini, sejuk di temani kicauan burung yang seakan bernyanyi mengiri jalan-jalanku bersama kakak laki-lakiku, Reyza. Serta dua sepupu kesayanganku, Dino dan Randika.

Cukup lama kami menikmati jalan-jalan yang menyenangkan, sekitar jam 05:45, Bang Reyza menyarankan kami untuk bermain di Lapangan Merah. Namun rute menuju lapangan tersebut, kami harus melewati sebuah mata air. Bagiku itu tak masalah, asal hari ini aku bisa bermain di Lapangan Merah yang di sebut-sebut Bang Reyza tadi.

"Lah cuma mata air doang. Kita bisa minum air di sana, cuci muka di sana seger dah," gumamku.

Sesampainya di sana, Dino sepupu laki-lakiku mengadu jika dia ingin buang air kecil. Lantas Bang Randika, kakak sepupuku berkata, "Udah sana lu numpang buang air kecilnya di pojok dekat pohon bambu."

Dino mengangguk singkat, dan siap-siap berlalu meninggalkan Bang Randika. "Eh tapi inget, lu harus ijin dulu takutnya ada yang punya lahan," imbuh Bang Randika sebelum Dino si bocah tengil itu pergi untuk buang air kecil. Entahlah, apakah Dino kala itu mendengar imbuhan Bang Randika atau tidak.

Setelah semuanya beres dan Dino kembali dari tempatnya buang air kecil tadi, kami melanjutkan perjalanan menuju Lapangan Merah. Selama perjalanan, aku yang awalnya berada di tengah kini harus berjalan paling belakang. Sebab rute yang kami lewati hanya bisa muat satu orang saja, dan mau tak mau aku harus mengekori mereka.

Hingga aku mulai merasa ada keanehan. Ada sesuatu yang sepertinya mengikuti kami daritadi. For your information, hanya aku yang bisa melihat 'mereka' di antara saudara-saudaraku waktu itu. Lantas aku menoleh, dan seketika aku terkejut ketika mendapati sesosok kakek-kakek yang mengikuti kami.

Kakek-kakek tua itu membawa cangkul di pundak kanannya, bajunya biru tua yang kian lusuh, dan celana panjang bermotif batik. Sorot matanya nampak marah, dan hanya memelototi adik sepupuku, Dino. Seketika aku teringat akan kejadian beberapa menit lalu dimana Dino buang air kecil di sebuah pohon bambu. Apakah dia meminta ijin sebelumnya?

"Bang Reyza, kakek-kakek itu siapa deh? Dia ngeliatin si Dino terus," ujarku pada Bang Reyza.

Namun Bang Reyza celingak-celinguk mencari sosok yang ku sebut. "Mana? Gak ada siapa-siapa tuh, Dek."

"Itu Bang, ada kakek-kakek. Matanya merah, kayaknya dia marah deh," sahutku.

Lantas Bang Reyza mengalihkan pandangannya ke arah Bang Randika dan bertanya, "Randika, tadi lu dah kasih tau si Dino 'kan buat minta izin dulu sebelum buang air tadi?"

"Udah, kok."

Bang Reyza otomatis langsung menatap Dino dan bertanya, "Tadi pas lu kencing, udah minta ijin dulu, kan?"

Dan dengan polosnya, Dino menggelengkan kepala. "Kaga."

"Din!" panggilku. "Coba lu lihat ke belakang, ada kakek-kakek gak?"

Sontak Dino menoleh dan berkata, "Mana? Gak ada apa-apa, tuh." Namun saat Dino kembali menatap kembali ke arah depan, kakek itu kini berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan sorot mata tak suka. Padahal tadi, saat aku menyuruh Dino untuk melihat ke belakang, kakek itu masih ada.

Dan seperti yang kuduga, Dino, Bang Reyza, dan Bang Randika berlari berhamburan menuju Lapangan Merah. Meninggalkan diriku sendirian dengan sosok kakek tua yang masih terpaku pucat di hadapanku. Lantas aku berkata pada kakek itu. "Maaf ya, Kek. Mungkin adik sepupu saya lupa gak minta izin. Maaf udah ganggu kakek ya, saya minta maaf banget. Sekarang kakek bisa istirahat lagi ya, Kek."

"Ya udah, kakek balik aja ya ke tempat kakek di sana," sambungku.
Tetapi kakek itu hanya diam beberapa saat. Menatapku dengan intens, lalu pergi ke tempatnya. Aku hanya bisa menghela nafas lega, sontak Bang Reyza segera menarik tubuhku pergi dari sana.

***

Ketika aku mulai naik ke kelas 3 SD, keluargaku memutuskan untuk pindah rumah ke kampung halaman nenekku. Saat itu adalah semester terakhirku di kelas 3 SD. Orang tuaku juga memutuskan untuk memindahkanku ke sebuah SD yang terletak tak jauh dari rumah baruku.

Dan, ketika aku naik ke kelas 4 SD, aku bertemu dengan seorang teman yang kebetulan tinggal di daerah Lapangan Merah sedari kecil. Aku iseng bertanya padanya tentang hal mistis yang aku alami 2 tahun lalu ketika berlibur kesini. "Eh Tiara, kamu tau nggak di deket Lapangan Merah yang luas itu ada mata air?"

"Iya, di situ emang ada mata air," jawab Tiara, temanku.

"Disana emang suka ada kakek-kakek yang ngambilin rumput sama nyangkul-nyangkul buat nanam?" tanyaku.

"Iya itu dulu. Sekarang dia udah meninggal 5 tahun yang lalu, dia di kuburinnya pas di bawah mata air. Sama deket pojok pohon bambu tuh makam istrinya." Sontak aku terkejut dan teringat kejadian itu kembali.

Setelah pulang sekolah, aku menceritakannya pada Bang Reyza, Dino, dan Bang Randika. Lantas kami memutuskan untuk kembali ke mata air, sembari berniat meminta maaf. Sesampainya ke tempat yang dituju, kami menaburkan bunga dan air guna berziarah. Kami berdoa di makam tersebut, lalu meminta maaf atas kelancangan kami 2 tahun lalu.

Setelah semua beres, kami berempat pergi lagi ke Lapangan Merah. Di sana aku sengaja menoleh ke belakang dan netraku menangkap dua sosok pucat yang kian rentan. Sosok suami-istri tersebut menerbitkan senyum sabit dan netra mereka memberikan sorot penuh keharuan. Aku hanya bisa tersenyum tipis dan kembali menatap kejalanan.

Lega rasanya setelah meminta maaf. Memang seminggu semenjak kejadian, kami berempat sempat di teror terus menerus. Dan sekarang, syukurlah. Kami bisa menjalani hari-hari kami dengan tenang dan normal.

Ku harap kalian mengerti.

TAMAT

Kim🐧🔪

Ssst, Mereka di Belakangmu! [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang