One

28 21 17
                                    

"Kezra! Kezra! Main yuk," seru seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam abu-abunya duduk diatas sepeda coklat dengan wajah sumringah menunggu sang pemilik rumah bercat putih itu keluar.

Sama-sama masih mengenakan seragam sekolah, Kezra keluar menghampiri Triadji --atau yang lebih sering dipanggil Aji dengan wajah tertekuk kesal. Tanpa basa-basi lagi ia langsung berdiri diatas pijakan kaki sepeda atau yang biasa dikenal dengan sebutan jalu sambil berpegangan pada pundak Aji. Mengerti kondisi Kezra yang sedang tidak dalam mood yang baik, Aji bersiap mengayuh sepedanya tetapi sebuah teriakan mengintrupsi keduanya.

"Kezra mau kemana? Mamih belum selesai bicara!"

"Ayo jalan, Ji, biarin aja sih Mamih."

Aji mengangguk kemudian mengayuh sepedanya pergi. Mamih hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat kepergian cucunya itu padahal pembicaraan mereka belum selesai. Sebenarnya wajar saja jika Kezra tiba-tiba bertindak kurang sopan seperti itu. Selepas dari sifatnya yang super sabar, tetap saja bagaimana pun juga Kezra hanya lah seorang remaja dengan emosi yang belum terkendali. Tentu tak mudah bagi dirinya untuk menerima sesuatu yang diluar dari zona nyamannya.

"Kezra mana, Mih?" tanya Papih menghampiri istrinya tersebut seraya mencari keberadaan cucu satu-satunya itu.

"Pergi sama Tri." Mamih menatap sinis kearah Papih lalu menyikut perut buncit suaminya itu. "Papih sih ngebiarin cucunya main sama laki-laki, jadi gitu 'kan dia sekarang. Marah pergi, bosan pergi, senang pergi. "

Papih mengelus perutnya yang terasa sakit sembari menuntun sang istri untuk duduk di sofa. "Mih, Kezra itu sudah besar, nggak bisa kamu ngelarang dia terus. Biarkan dulu dia menenangkan diri ya. Lagipula dia itu pergi sama Tri kok, bukan sama laki-laki sembarangan. Kalau Tri macam-macam kamu bisa samperin anak itu ke rumahnya," jelas Papih menunjuk rumah bercat abu-abu yang letaknya tak jauh dari rumah mereka dari balik jendela.

"Mih, benar kata Papih, biarkan Kezra menenangkan diri dulu. Toh, ini 'kan salah Mamih yang membuat keputusan tiba-tiba," sahut Ian yang baru bergabung.

Mamih melotot, merasa tak terima dengan tuduhan yang diberikan padanya. "Apa maksud kamu salah Mamih, Ian?"

"Saya benar 'kan? Coba Mamih nggak buat keputusan yang aneh seperti itu, udah pasti Kezra masih disini."

"Kamu mau jadi anak durhaka, hah?" Hanya dalam waktu beberapa detik nasib kuping Ian kini berada pada tangan Mamih.

"Aduhh, bukan gitu maksud saya." Ian yang tak bisa berkutik pun hanya bisa meringis menahan rasa panas di kupingnya. Ia akui kekuatan ibunya itu tak berkurang sedikit pun walau usianya kini sudah tak muda lagi.

"Mamih lakuin ini juga demi kebaikan Kezra kok. Jadi kalau suatu saat Mamih sama Papih nggak bisa lagi jagain dia, ada pengganti kami berdua." Mamih melepaskan jewerannya kemudian berkacak pinggang. "Ini juga salah kamu! Coba aja kamu lebih perhatian sama adik kamu itu."

"Adik? Mih! She's my daughter not my sister. Saya bisa kok urus dan jaga Kezra tanpa Mamih harus ngelakuin hal aneh kayak gini," jelas Ian yang merasa tak terima.

"Dengan membawa dia ke Jakarta? Oh no way! Mamih nggak akan pernah izinnin kamu bawa Kezra ke Jakarta. Mau seperti apa pergaulan Kezra nanti disana?" bantah Mamih tak mau kalah.

Our Journey (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang