Malam semakin larut. Bintang tampaknya enggan menghiasi langit malam ini. Membiarkan awan gemuruh menyelimuti kolong kaki langit. Tiupan angin mulai berhembus kencang membuat siapa pun ingin cepat sampai di rumah untuk menghangatkan tubuh.
Tetapi lain hal dengan laki-laki yang satu ini. Disaat orang lain ingin bersiap tidur, ia justru tengah bersiap-siap untuk pergi keluar tanpa mempedulikan hujan yang sebentar lagi mungkin saja akan turun. Ia mengintip sekilas dari balik kaca jendela, tetesan air hujan mulai turun membasahi jalanan kota Bandung. Kini tangannya sibuk menari-nari diatas layar ponsel memperingati teman-temannya untuk tetap berhati-hati karena malam ini jalanan akan lincin.
"Zra."
"Apa?" jawab Ezra namun masih fokus pada ponselnya.
"Dipanggil Opah di ruang kerjanya."
Ezra menatap tajam sepupunya. "Jangan bercanda."
Dani menggeleng. "Gue serius. Udah saatnya, Zra."
"Shit!" Ezra mengacak rambutnya kesal. Amarahnya mendadak muncul. Ia tak siap dengan ini semua dan tak akan pernah siap. Walaupun ia tahu suatu saat cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Tetapi ia tak pernah menyangka akan secepat ini.
Dani mendekat, menepuk pundak sepupunya itu. Ia tahu hal ini pasti sangat sulit untuk di terima. Karena ia sendiri juga pernah merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan Ezra dua tahun lalu. "Gue tau ini berat, Zra, tapi jalanin aja. Perlahan lo pasti bisa menerima keadaan."
"Gue nggak butuh nasehat." Ezra menepis tangan Dani kasar. Dengan gusar dan amarah yang mulai berkecamuk Ezra menghampiri ruang terkutuk itu. Dimana kesalahan seseorang di masa lalu berdampak bagi generasi demi generasi dan perlahan menjadi sebuah tradisi keluarga.
"Ada apa memanggil saya?" tanya Ezra datar. Wajahnya tertekuk, matanya menajam.
"Sepertinya kamu sudah tahu maksud tujuan saya." Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum kecil di wajahnya yang kini sudah dipenuhi kerutan. Opah sangat hafal dengan sifat cucu-cucunya sehingga tak mudah terbawa emosi jika terkadang mereka bersikap kurang sopan.
"Sudah waktunya kamu menikah," lanjut Opah.
"Nggak bisa, saya masih sekolah."
Opah mengangguk paham dan berkata, "Memang, tapi usia kamu sudah menginjak kepala dua, sudah cukup untuk menikah. Saya juga sudah menunda perjodohan kamu yang seharusnya berlangsung dua tahun yang lalu. Saya tidak mau menundanya lagi, karena tahun depan saya akan pindah ke Surabaya untuk beberapa saat sambil menunggu Sabrina lulus sekolah."
Tangan Ezra mengepal. Ia kesal. Ingin rasanya ia memaki pria paruh bayah didepannya ini, ingin rasanya melayangkan tijuannya ke wajah yang mulai berkeriput itu, tetapi ia tak bisa. Dan tak akan pernah bisa. Bagaimana pun juga ia masih punya akal sehat dan hati nurani. Ia sadar selama ini hanya Opah lah yang selalu mendungkungnya disaat teman-teman dan saudaranya menganggap ia sebagai sosok monster yang mengerikan.
Sejak dulu Ezra memang agak kesulitan dalam mengatur emosinya. Itulah sebabnya ia sempat tidak naik kelas dan beberapa kali harus berpindah-pindah sekolah karena selalu bermasalah dengan orang sekitar. Keluarganya bisa saja membayar pihak sekolah untuk tetap membuatnya naik kelas, tetapi Opah melarang hal itu. Opah berharap dengan begitu Ezra dapat belajar dari pengalamannya kelak untuk dapat mengatur emosinya dan beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya.
Sering kali tanduk iblisnya seketika akan muncul jika berhadapan dengan orang yang menurutnya mengganggu. Ia tak pernah segan untuk melawan mereka yang berani mengekangnya. Ia pun tak segan-segan menghajar mereka yang berani menantangnya. Ia tak pernah pandang bulu, semuanya di samaratakan. Baik perempuan maupun laki-laki. Namun semakin bertambahnya usia, perlahan kini Ezra mulai dapat mengendalikan amarahnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Journey (ON GOING)
Fiksi Remaja"Together we make a family" Kezra dan Ezra terikat sebuah pernikahan karena harus mengikuti tradisi turun menurun yang tidak masuk di akal. Perbedaan karakter yang sangat bertolak belakang membuat keduanya sulit beradaptasi satu sama lain. Kesalah...