3. Sejarah.

89 56 21
                                    

Seorang wanita berambut pirang bergelombang berjalan anggun membelah kerumunan. Di lihat dari penampilan, dia seorang bangsawan dan juga pelaku dari serangan sihir tadi.

"Berani-beraninya kau keluar duluan dari ruangan ini mendahului kami," ucapnya menatap dingin dan meremehkan.

Di belakangnya berdiri dua orang wanita yang juga ikut kesal dengan tindakan gadis gimbal itu. "Dasar rakyat jelata tidak sopan. Tunjukkan rasa hormatmu pada Nona Charena!" bentak salah satu dari mereka.

"Memangnya siapa dia?" tanya gadis itu berdiri menaikkan kacamatanya yang menurun.

Semua orang terdiam dengan pertanyaan yang di lontarkan gadis bertubuh mungil dan bermanik hijau cerah itu. Sedangkan wanita bernama Charena itu tertegun berbeda dengan dua orang di belakangnya yang siap untuk menyerang. Gadis itu sama sekali tidak tau apa pura-pura. Begitulah bisikan orang-orang padanya.

"Memangnya dia siapa?" pertanyaan yang sama juga di lontarkan oleh Rissa.

"Putri sulung Duke Arasius. Arasius Charena," jawab Roy, Rissa hanya ber oh ria menanggapi jawaban Roy.

Pantas saja. Ini menjadi semakin menarik

Charena mendecih tajam, "aku masih berbaik hati padamu untuk memberikan peringatan pertama. Aku harap kau mengerti," ucapnya dingin.

"Arina dan Leona, ayo kita pergi."

Rissa menekukkan wajahnya, ini tidak seru.

Satu persatu orang mulai meninggalkan ruangan, sedangkan gadis gimbal itu hanya berdiri tertunduk. Memangnya kenapa jikalau dia putri bangsawan. Tidak ada aturan yang mengharuskan bangsawan harus keluar dari ruangan lebih dulu ... pikirnya.

Meski zaman sudah sedikit modern, sistim kasta masih berlaku di dunia ini. "Kau tidak apa-apa? Apa kau bisa berjalan?" tanya Roy.

Gadis itu mengangguk, menggunakan sihir penyembuhan untuk menutupi lukanya. "Dengan kondisi kritis kau menggunakan sihir untuk mengobati dirimu? Yang benar saja," celetuk Rissa, menyilangkan tangan di dada.

"Ambil ini," melemparkan sebuah botol, "minum ramuan ini. Serangan sihir level medium tadi membuatmu terluka cukup parah. Tidak hanya di luar, organ dalammu juga terluka itu sebabnya kau memuntahkan darah cukup banyak," jelas Rissa.

"Te-terima kasih, aku akan meminumnya," ucap gadis itu.

"Ngomong-ngomong, aku Roy dan dia Rissa. Salam kenal."

"Aku Camille, salam kenal. Senang bertemu kalian."

"Aku akan mengantarmu sampai kamar jika kau mau. Di mana kamarmu?" tawar Roy.

"Ah, tidak. Aku bisa sendiri," tolak Camille halus. "Kamarku di lantai 2 nomor 24," jawabnya.

"Ternyata kita sekamar," ucap Rissa datar, berusaha menepis pikiran aneh soal kutu di rambut gimbal.

"Wah, benarkah? Asyik, aku tidak menyangkanya," tersenyum cerah.

Ke sejuta kalinya, gadis bersurai putih itu mendecih. Roy kedua versi cewek.

"Kau yakin tidak ingin ku bantu?" tanya Rissa memastikan.

"Tidak usah. Aku bisa sendiri, aku sudah besar," balas Camille, berusaha melepaskan pakaiannya.

Kini mereka sudah berada di kamar dan sedang bersiap untuk istirahat karena pembelajaran di mulai besok pagi. Camille sedang berusaha melepaskan baju meski tangan kirinya sedang terkilir. Dia tetap menolak bantuan Rissa yang sudah sedari tadi selesai bersiap dan menonton Camille yang tak kunjung berganti pakaian. Beberapa kali, Rissa mendengar keluhan Camille.

Rissa Became A Witch (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang