Bau amis membuat perutku terasa mual. Ruang makan yang sempit itu kini menjadi tempat tumpukan mayat dengan genangan darah dimana-mana. Aku mencoba untuk menguatkan diriku sendiri agar tidak muntah. Ku ambil beberapa senjata mereka dan u masukkan ke dalam ransel yang ku ambil tadi di kamar. Di dalam sebuah laci aku menemukan senjata api dengan peluru yang masih utuh. Ku ambil dan segera berlari menjauh dari mercusuar itu.
Aku berjalan tertatih-tatih. Luka di beberapa bagian tubuhku masih basah dan terasa sakit. Beban senapan yang ku bawa membuat diriku semakin sulit untuk berjalan. Kini aku sedang berjelan menyusuri pantai. Berada di ruangan terbuka seperti ini sendirian membuat jantungku berpacu lebih cepat. Aku selalu memastikan bahwa di sekelilingku tak ada yang mengikui atau bahkan mengawasi. Semakin lama aku berjalan ke barat, masuklah aku ke dalam hutan.
Kuperkuat seluruh indraku. Hutan jauh lebih berbahaya daripada daerah pantai. Banyak pohon-pohon rimbun yang bisa saja menjadi tempat persembunyian untuk para peserta yang lain. Kalau dipikir-pikir, aku seperti seekor rusa yang bisa kapan saja diterkam oleh macan. Aku terus berjalan, tak tentu arah. Setelah hampir setengah jam berjalan sendrian, akupun tersadar. Aku tidak menemukan Tian beada di sampingku. Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia masih hidup?
Aku berhenti sejenak, duduk bersandar di bawah sebuah pohon. Tanpa ku sadari, air mata mulai mengalir di pipiku. Pikiranku begitu penuh dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada Tian. Hal terakhir yang ku ingat, aku melihatnya di dalam air setelah melompat. Terombang-ambing, disapu oleh ombak yang menerjang kami berdua. Perasaan yang telah lama hilang itu kini kembali datang. Untuk kesekian kalinya aku harus rela mengikhlaskan kepergian orang-orang yang ku sayang. Akupun semakin duduk tak berdaya.
Ketika aku mencoba untuk bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan. Lamat-lamat aku mendengar teriakan dan gumaman seseorang. Dengan tenaga yang tersisia aku segera menguatkan diri naik ke atas pohon. Susah payah aku mencobanya, namun akhirnya aku berhasil naik dan duduk di dahan yang cukup tinggi. Luka-lukaku kembali terasa nyeri. Tetapi itu lebih baik daripada harus menghadapi peserta lain dengan keadaanku seperti ini. Aku mencoba memposisikan diriku senyaman mungkin. Meredam suara-suara yang mungkin saja bisa terdengar oleh mereka yang hendak lewat tepat di bawah keberadaanku. Senjata api yang tadi ku curi dari mercusuar, ku pegang dengan erat dan ku arahkan ke bawah. Tak berselang lama dari itu, aku melihat ada empat orang peserta yang berjalan. Tiga orang lelaki dan satu orang perempuan. Keempat orang itu berpakaian sangat lusuh. Bahkan kaus mereka sudah dilumuri banyak bercak darah kering yang membuat diriku tiba-tiba saja mual. Bisa kuprediksi bahwa mereka melakukan aliansi dan telah membunuh peserta lainnya yang berjalan sendirian seperti diriku saat ini.
Debar jantungku kembali berpacu. Secara otomatis aku menahan deru nafasku agar tidak terdengar. Keempat orang itu tiba di bawah pohon tempatku bersembunyi. Mereka mendadak berhenti dan saling bergurau satu sama lain.
"Apakah kau melihat wajah orang yang kita bunuh tadi?" tanya si perempuan.
"hahahaha.. ya dia begitu ketakutan. Mohon jangan bunuh aku anak muda." Kata si lelaki berbadan kekar sambil memeragakan korbannya yang memohon ampun.
"Entah kenapa aku jadi semakin menikmati permainan ini. Selanjutnya kita akan ke mana Ambika?" Tanya lelaki kurus gondrong pada si wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAIR
Mystery / Thriller"Jangan membicarakan kematian, karena tanpa dibicarakan pun ia akan datang tepat pada waktunya"