Alarm berbunyi dan terdengar nyaring di telinga Gauri. Dengan mata yang masih enggan terbuka, ia bangun dan menggeliat. Selimut yang sedari tadi melindungi dari dinginnya AC kini tersingkap. Ia mematikan jam beker merah muda itu dan menyimpannya kembali dengan sembarangan. Gauri meregangkan tubuhnya lalu beranjak pergi menuju kamar mandi.
Tubuh telanjangnya berdiri mematung di depan shower. Membiarkan bulir-bulir hangat itu meluncur bebas di tubuh polosnya yang mulus. Ia melamun. Impresinya melayang ke masa lalu. Sebuah lapangan sekolah tergambar dengan jelas dalam bayangannya. Membentuk citra seorang anak lelaki yang duduk sendirian dan melamun. Gauri kecil dengan malu-malu berlari mendekat dan menyodorkan sebuah kotak bekal berisi pisang goreng buatan ibunya. Lelaki yang sedang melamun itu segera menatap wajah gauri dan memberikan senyum.
"Kau mau?" tanya Gauri dengan malu-malu.
Tanpa menjawab, anak lelaki itu segera mengambil satu potong pisang goreng dan melahapnya. Gauri tersenyum, lagi-lagi dengan perasaan malu ia menyembunyikan senyum dibalik jari-jari mungil miliknya.
"Kau yang waktu itu terjatuh dan kutolong kan?" anak lelaki itu bertanya setelah satu potong pisang gorengnya habis.
Gauri menjawab dengan anggukan.
"Jadi, siapa namamu?"
Gauri kecil tiba-tiba merasa malu. Ia segera mengambil tempat bekalnya dan berlari menjauh. Meninggalkan anak lelaki bernama Zafar itu yang berteriak-teriak memintanya untuk kembali dan menjawab pertanyaannya.
Ketika Gauri menghilangkan ingatan itu dalam benaknya, ia tersenyum. Menyalahkan dirinya atas kebodohan yang ia buat sendiri. Seketika hatinya menyesal karena tidak memperkenalkan diri kepada Zafar.
Zafar.
Zafar.
Zafar.
Ya, lelaki itu memang sudah terpatri dalam hatinya. Tak ada yang ia inginkan lagi selain lelaki itu. Pertemuan pertamanya kembali setelah beberapa tahun terpisah membuat semangatnya kembali bangkit. Sekarang yang harus ia pikirkan hanyalah bagaimana bisa menyelamatkan Zafar dari arena kematian itu. Agar ia bisa menjalin hubungan kebali dengannya.
Hari ini, ia dan Mardikun akan menemui dewan khusus kenegaraan untuk membahas program Death Games. Gauri bertugas untuk mempresentasikan program ini. Mardikun ingin menjadikan program ini menjadi program tahunan untuk membantu memecahkan masalah yang kini telah menjadi fokus nengara yakni peledakan penduduk.
Pada awal pertemuannya dengan Mardikun, ia sebenarnya tidak tertarik untuk bergabung. Apalagi saat dia tahu bahwa program ini mengutamakan peserta untuk saling membunuh. Hanya saja, uang menjadi salah satu alasan terbesar ia menyetujui pekerjaan sebagai kepala program. Ia membutuhkan uang itu untuk membangun sebuah yayasan untuk anak-anak kurang mampu. Agak miris memang, mendirikan yayasan dengan tujuan yang mulia dengan uang hasil membunuh orang-orang tak berdosa. Tapi di zaman ini, semuanya harus dikesampingkan demi uang.
Pukul sepuluh ia sudah berdiri di depan pintu ruangan yang besar. Pintu itu bercatkan putih dengan gagang pintu berwarna emas. Mardikun berdiri di sampingnya, rapi dan percaya diri untuk menjelaskan program unggulannya yang gila ini. Tujuan utama mereka berdua hari ini adalah mendapatkan persetujuan dari sang kepala negara, Gianta Bajra.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAIR
Mystery / Thriller"Jangan membicarakan kematian, karena tanpa dibicarakan pun ia akan datang tepat pada waktunya"