Lagi-lagi aku bertanya pada Tara, apakah dia bisa melakukan segala halnya sendiri ketika aku pergi. Untuk yang kesekian kalinya juga Tara meyakinkanku bahwa ia bisa melakukan segala hal.
"Kau jangan mengkhawatirkan aku Zafar. Ada nenek Vanti dan Wira yang akan membantuku." Katanya sambil memegang erat nenek Vanti tetanggaku yang juga ikut mengantar ke Bandara.
"Iya, kamu tidak usah khawatir. Nenek akan menjaga Tara."
"Begitupun denganku Zafar. Aku akan mengantarnya ke sekolah setiap hari sebelum bekerja ke kebun cokelat. Tenang saja." Wira teman kerjaku menepuk pundak. Meyakinkan diriku bahwa aku tidak usah mengkhawatirkan Tara.
Aku menggendong tas ranselku kembali. Rasanya berat sekali, apalagi saat kembali mengingat bahwa aku akan pergi jauh dari adik angkatku. Dua orang petugas menghampiri dan memintaku untuk menunjukkan tiket hadiah dalam bungkus cokelat. Aku menyerahkannya dan mereka menyuruhku untuk mengekor menuju terminal pemberangkatan khusus. Sekali lagi aku berpamitan kepada Tara. Kupeluk ia dan kuciumi puncak kepalanya. Kulihat genangan air mata, namun Tara tetap menahan tangis. Sebelum aku melangkah pergi, Tara memberikan sebuah gelang yang ia buat dari benang wol. Berwarna hitam dan merah dengan pin berbentuk kepala singa di tengahnya.
"Bukannya ini pin keberuntunganmu?"
"Gunakan saja, jangan sampai hilang. Agar kau tahu bahwa aku selalu bersamamu lewat pin itu." Katanya, ia berlagak seperti pria dewasa rasanya.
"Terima kasih." Ujarku dengan bahasa isyarat.
"Sama-sama. I love you." Itulah kalimat perpisahan yang ia lontarkan.
Sekali lagi aku berpamitan dengan nenek Vanti dan cucunya Wira. Kembali kutitipkan Tara kepada mereka. Setelah Wira melepasku dari peluknya, aku berjalan mengekor kedua petugas yang telah menungguku tadi. Aku berjalan tepat di belakang mereka. Tepat di bagian punggung baju mereka ada sebuah tulisan DGs yang mencolok. Kuhiraukan saja.
Setibanya di terminal khusus itu, aku melihat sekitar lima puluh orang sudah berkumpul. Ada yang mulai bercengkrama satu sama lain. Ada juga yang asyik sendiri, dan mataku menemukan seorang gadis seusia Tara yang duduk sendirian sambil menatap sebuah foto yang ia pegang di tangan. Aku berjalan menghampiri dan duduk tepat di sampingnya. Ia terkejut, dengan segera ia simpan secarik foto itu di dalam saku jaketnya. Gadis itu tersenyum menyapaku. Aku menyodorkan tanganku, mengajaknya berkenalan.
"Namaku Zafar, siapa namamu?"
"Kaluna, panggil saja aku Kaluna." Suaranya sangat lemah lembut.
"Kau mendapatkan tiketnya juga?"
Kaluna mengangguk sambil menunjukkan bungkus cokelat yang sama seperti milikku.
"Kau berani pergi sendirian?"
"Sebenarnya, ini pertama kali aku pergi tanpa ditemani kedua orangtuaku. Jadi, aku merasa sedikit gugup."
"Ya, akupun sama. Ini kali pertamaku peri tanpa mengajak adikku."
"Kau belum pernah pergi sendirian?" ia beranya, aku menjawabnya dengan sebuah anggukkan.
"Jadi kau punya adik? Siapa namanya?"
"Tara, ia seusia denganmu. Baru saja aku berpisah dengannya tadi."
"Apa dia menangis saat kau meninggalkannya?"
"Tidak, dia anak yang kuat. Aku harap kau juga kuat sepertinya ketika tak ada kedua orang tuamu."
"Ya tentu saja, aku bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAIR
Mystery / Thriller"Jangan membicarakan kematian, karena tanpa dibicarakan pun ia akan datang tepat pada waktunya"