Bab [2]

5.4K 139 16
                                    

Charlen sudah menghabiskan dua roti gandung yang diberi selai raspberry, gelas jus jeruknya tinggal tersisa setengah. Dia terpaksa melahap sarapan dengan ditemani tatapan Devlin, pria itu sesekali menatap makanan dan dirinya secara bergantian. Tatapan pria itu seolah mengatakan habiskan-makanannya-atau-aku-akan-marah.

Dengan sangat terpaksa Charlen meraih bacon dan telur mata sapi yang baru saja dihidangkan oleh pramusaji. Dia tidak mengerti bagaimana pria itu bisa memiliki koki pribadi lengkap beserta pelayannya, mereka menggenakan seragam resmi seperti di restoran. Ruang makan tempat mereka berada saat ini terlihat sangat mewah namun terasa hangat, mejanya terbuat dari kayu--yang entah kayu apa, karena Charlen tidak tahu.

Serasi dengan kursi dengan ukiran rumit yang saat ini sedang didudukinya, semua perabotan tampak berkilauan terkena cahaya lampu. Piring-piring porselen, dan sendok yang terbuat dari alumunium murni seolah menandakan bahwa Devlin hanya memilih barang terbaik untuk mengisi rumahnya.

Charlen memotong telur setengah matang menjadi dua bagian, dia menaburkan blackpapper, lalu menambahan sedikit garam ke atasnya. Dia mengambil satu suapan bersama potongan bacon, sesekali ekor matanya melirik Devlin yang tengah asik membaca koran. "Aku ingin tahu setelah ini apa yang akan kau lakukan?" Tanya Charlen.

Dia bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan, hal tersebut sontak meebuat Devlin menatapnya sekilas. Pria itu hanya memandangnya dengan ekspresi datar, lalu dia kembali memfokuskan pandangan ke koran yang sedang dibacanya.

"Sebaiknya habiskan dulu makanmu," suara Devlin terdengar seperti tanpa emosi, dia bahkan tidak mau repot-repot menatap Charlen saat mendengar gadis itu mendengus.

"Aku bisa makan sambil bicara," jawab Charlen dengan cuek, lalu dia memasukkan kacang polong rebus ke dalam mulut. Dia mengunyah sambil menatap pria yang seolah tidak mendengarkannya sama sekali, pria itu membuka halaman koran dengan santai--seolah tidak terganggu dengan tatapan Charlen yang saat ini sedang menunggu jawaban darinya.

"Kita akan pergi ke New Orleans," jawabnya dingin.

Sementara Charlen berhenti mengunyah, tangannya yang sedang memegang garpu berisi bacon yang berada di depan mulutnya. "Kenapa kita harus ke sana? Apa hal yang membahayakanku ada di sana?" Dia melirik sisa makanannya dengan tidak berminat.

Seolah diprogram untuk mengetahui perasaannya, Devlin mendongak dan menatapnya dengan pandangan setajam ujung es yang telah di atas. Mata biru yang indah tampak seperti lautan beku di musim dingin, sangat menusuk dan seluas lautan yang dipenuhi oleh bongkahan es. "Habiskan makananmu!" katanya dengan suara datar, namun sarat akan perintah yang tidak terbantahkan. Pria itu kembali memfokuskan diri pada koran yang masih dipegangnya.

"Dasar manusia kutub," Charlen memasukkan sisa makanannya dengan satu suapan besar, dia memutar mata dan ingin rasanya melempar sendok ke kepala Devlin. Pria itu benar-benar sudah membuatnya gila, keberadaannya di rumah pria itu dikatakan untuk menghindari bahaya. Tapi dia merasa seperti sudah masuk ke dalam bahaya itu sendiri.

***

Pada siang harinya Devlin mengajak Charlen untuk berkeliling di sekitar Central Park, entah apa yang dicari oleh pria itu. Tapi dia merasa seperti ada yang aneh saat mereka sudah berdiri di depan sebuah pohon besar yang ada di tengah taman tersebut, sebelumnya dia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Charlen merasa yakin bahwa ada sesuatu yang salah di sana, seperti ada banyak orang yang mengamati secara lekat.

"Kenapa kita harus berdiri di sini?" Charlen memandang resah ke arah pohon tersebut, dia berdiri di samping Devlin yang saat ini hanya menatap kosong pada pohon itu, pria itu tampak seperti patung dengan sesekali mengernyitkan dahi. Jika orang awam pasti menyangka bahwa pria itu hanya sedang menatap sebuah pohon tanpa ada maksud apa-apa.

Surrender To Heart [Surrender Series #3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang