—day 1
"Permi--- Dokter!"
"I-iya?"
Saya gelagapan begitu mendengar suara yang tiba-tiba menggema di ruangan ini. Saat berbalik, bocah laki-laki—yang saya tebak berumur 9 tahun— memasuki ruangan yang tengah saya tempati.
"Huh? Bukan dokter kunti, ya? Maaf salah dokter" bocah itu membungkuk, masih tetap berada di depan pintu.
"Mau kemana kamu?" tanya saya saat melihatnya berbalik, bermaksud pergi dari tempat ini.
Dia kembali melihat saya. "Mau kembali ke kamar"
"Siapa yang kamu cari?"
"Dokter kunti"
Dokter kunti? Apa maksudnya? Kuntilanak berkedok dokter atau dokter berkedok kuntilanak?
"Dokter kunti? Siapa dia?"
"Pemilik ruangan ini" katanya
Saya langsung paham dan selanjutnya terkekeh, "Dokter Kun maksudmu?"
Ruangan yang tengah saya tempati memang milik teman saya, Qian Kun. Dia juga salah seorang dokter di rumah sakit ini.
Bagaimana bisa Qian Kun, dokter terhormat itu dipanggil dokter kunti oleh bocah berumur 9 tahun?
Ada-ada saja.
Dia mengangguk, "Kenapa paman tahu?"
"Dia teman saya"
"Wah, benarkah? Dia juga temanku" katanya tersenyum lebar, menampilkan sederetan gigih putih itu.
"Sini, duduk" ajak saya menepuk tempat kosong pada sofa yang tengah saya duduki.
Anak itu mendekat, lalu mendaratkan bokongnya di samping saya.
"Kamu tunggu saja dokter kunti disini. Sekalian menemani saya"
Saya mengamati bocah di samping saya ini. Seperti anak laki-laki berumur 9 tahun pada umumnya, tingginya mungkin hanya sepinggang saya. Ya, saya juga tidak tinggi amat.
Kulitnya putih dan bibirnya pucat, senyuman yang sempat terlihat tadi sangat lucu, surai kecoklatannya yang lebat menutupi dahi anak itu.
Pandangan saya teralih pada pakaian yang dikenakannya. Itu pakaian pasien, dan mungkin dia adalah salah satu pasien di rumah sakit ini. Dapat saya lihat sebuah gelang berwarna biru tersemat di salah satu lengan kurusnya.
"Kamu pasien di rumah sakit ini?" tanya saya, dia mengangguk.
"Kalau tidak keberatan, kamu sakit apa?"
Pertanyaan yang saya ajukan membuatnya tersenyum lebar, "Kanker darah"
Saya terkejut, benar-benar terkejut. Pertama karena anak ini baru saja mengatakan kalau dia menderita kanker darah, dimana penyakit itu salah satu penyakit mematikan yang tak jarang merenggut nyawa seseorang.
Dan yang kedua, dia mengatakan itu seraya tersenyum lebar, seakan-akan itu tidak masalah baginya.
"K-kamu bohongi saya?" tanya saya masih tidak percaya.
Bagaimana mungkin bocah 9 tahun menderita penyakit itu?
Dia tertawa kecil. "Aku tidak bohong. Kanker darah. Ah! Le--leu--- ah, aku lupa namanya"
"Leukimia?"
"Nah! Itu! Leukimia"
Lagi-lagi saya melihatnya tertawa.
"Tahu dari mana kamu?"
Dia terdiam, kemudian mengarahkan jari telunjuknya di hadapan saya. Mungkin menyuruh saya diam. "Jangan beritahu mama kalau aku diam-diam menguping perkataannya dengan dokter kunti. Nanti dia menangis"
Anak ini lagi-lagi membuat saya terkejut.
"Menangis?"
Dia mengangguk, "Katanya aku hanya sakit biasa, tapi aku tahu mama bohong. Dia hanya tidak ingin membuatku sedih" katanya
"Mama lucu sekali tahu. Dia tidak ingin aku bersedih, tapi bunda sendiri yang selalu menangis ketika melihatku. Padahal aku sendiri tidak apa. Makanya paman jangan beritahu mama kalau aku tahu itu, ya. Aku takut dia tambah sedih"
Kedua manik mata yang bersinar disertai senyumnya yang melebar seraya menatap saya. Rasanya ingin menangis mendengar apa yang dia katakan.
Saya hanya mengangguk meresponnya.
"Saya juga dokter disini" kata saya memecah keheningan.
"Oh ya?"
Saya mengangguk, "Makanya saya mengenal dokter kunti itu"
"Kenapa kita tidak pernah bertemu? Padahal aku setiap hari disini, loh. Paman juga tidak memakai jas putih. Aku kira dokter selalu memakai itu?"
"Saya baru kembali kemarin. Besok saya akan kembali bekerja disini"
"Paman darimana?"
"Sebuah negara yang jauh"
"Negara apa itu?"
"Amerika"
"Wah, keren" dia berdecak kagum membuat saya terkekeh melihat ekspresinya.
"Paman mau menjadi dokter saya ga?"
Saya menatapnya seraya melemparkan tatapan tanya, "Kenapa memangnya?"
"Aku bosan dengan dokter kunti. Dari kecil hanya dia yang menemaniku. Aku ingin dokter lain jugaaa" rengeknya.
"Lalu kenapa ingin dengan saya?"
Dia berfikir sejenak, lucu sekali. "Paman orang baik"
"Dari mana kamu tahu?"
"Buktinya paman menyuruhku duduk sambil menunggu. Tidak menyuruhku untuk kembali istirahat di kamar seperti suster lainnya"
Saya tersenyum mendengar itu. Alasan yang sangat sederhana. Dibalik perkataannya itu saya tahu, dia pasti lelah diperlakukan seperti itu.
"Baiklah kalau begitu. Saya akan menjadi doktermu mulai hari ini"
"Wah, beneran?" Manik matanya berbinar menatap saya. Saya hanya mengangguk.
"Jadi aku harus panggil paman dokter, dong?"
Saya mengendikkan bahu, "Terserah. Asal jangan dokter kunti. Saya bukan kuntilanak soalnya"
"Hm, nama paman siapa?"
"Moon Taeil"
"Kalau begitu aku panggil paman dokter bulan!" katanya semangat
"Kenapa bulan?"
"Moon artinya bulan, kan? Aku suka bulan!"
Saya hanya mengangguk, terserah anak itu. Saya tidak mempermasalahkan nama panggilan saya. Asalkan yang baik-baik.
"Nama kamu siapa?"
Senyuman indah itu kembali menghiasi wajahnya.
"Namaku Winwin"
- moon taeil -
KAMU SEDANG MEMBACA
janji sederhana, taeil ✔
Fanfiction"Janji harus ada di samping aku sampai akhir" -ft. moon taeil, nct. start : jan 2021 end : feb 2021