———◐☆◑———
“Sebuah pertanyaan akan selalu terlontar saat seseorang merasa kebingungan. Namun, terkadang jawaban yang diberikan belum tentu itulah kenyataan.”
———◐☆◑———
.
.
.
.
.
.
.
.
📖Keheningan menyelimuti kamar yang ditempati Nadira, Anjani, dan Alma.
Biasanya kamar itu selalu terasa hangat dengan interaksi mereka. Namun, tidak setelah permasalahan tercipta antara Nadira dan Anjani.
Embusan napas kasar terdengar dari Alma yang kini duduk di ranjang Nadira. Baru saja dia mendengar apa yang terjadi antara dua temannya itu.
Nampak, keduanya duduk berhadapan dengan menyila, kemudian bantal yang berada di pangkuan.
“Jadi, kita mau gimana? Mau kaya gini sampai kapan?” Pertanyaan Alma hanya mendapat gelengan lemah dari Nadira sebagai jawaban.
“Aku juga enggak mau kaya gini, Al. Kalau bisa aku mau ngelupain semua yang terjadi dan barengan lagi sama Anjani. Tapi .... ” Nadira membuang napas kasar.
“Ya, udah, biar gue bantu ngomong sama Anjani.” Alma tersenyum, membuat Nadira merasa tenang. Lalu, perempuan itu kembali bersuara, “Mending, sekarang kita tidur. Lo butuh istirahat cukup karena belum bener-bener sembuh. Dan, ya, jangan terlalu dipikirin. Percaya, deh, kalau semuanya bakalan baik-baik aja.”
Perasaan Nadira begitu merasa tenang dengan ucapan dan sikap Alma yang hangat.
Keduanya kini sudah terbaring di ranjang masing-masing dan lampu utama sudah dimatikan, hanya menyisakan lampu tidur.
Aku hanya takut semua ketakutan yang perlahan hilang datang kembali. Aku tidak ingin lagi merasa sendirian karena ditinggalkan, batin Nadira yang kemudian membuka mata.
***
Hari-hari yang selalu disibukkan dengan belajar. Sebab, ulangan akhir semester 2 sudah datang. Namun, beruntunglah karena hari ini adalah hari terakhir.
Waktu istirahat masih bisa dirasakan sebelum bel masuk terdengar untuk mengerjakan pelajaran terakhir.
Terlihat Raga melangkah di koridor dengan gaya sok tampannya.
Semua orang memang mengakui jika dia memang tampan. Bahkan, sangat di atas rata-rata. Terlebih, dengan rambutnya yang kini sudah hitam semua dan setelan rapi mengikuti aturan. Dia bukan lagi badbay, melainkan goodboy sekarang.
“Kenapa? Nambah ganteng ya, gue hari ini?” Senyuman manis khas Raga tersungging hingga menunjukkan setengah deretan gigi atas dan bawah. Sementara dua siswi yang mendapat pertanyaan sudah tentu kegirangan bukan main.
Katya yang berjalan dengannya pun merasa ingin muntah.
“Bisa enggak, sih, biasa aja, Ga?” Tatapan kesal Katya layangkan.
“Itu lo karena enggak bosen lihat wajah ganteng gue. Orang lain juga enggak.” Senyuman hingga menunjukkan sedikit deretan gigi atas atas dan bawah kembali tercetak. Akan tetapi, tetap saja semua itu tidak berpengaruh pada Katya yang tetap kesal.
Perempuan itu memutar bola mata malas. Ucapan Raga tidak ada bedanya. Benar, bukan?
Bukankah seharusnya dia melayangkan pertanyaan 'Itu karena lo bosen' bukan 'Enggak bosen'. Entahlah, Katya terkadang berpikir karakter Raga itu aneh atau memang terlalu banyak gaya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Eighteen (Hujan & Tangisan) [Revisi]
Teen FictionWARNING ⚠⚠⚠ Cerita ini sudah versi direvisi (o∩_∩o) Sebelum kalian membaca, author akan memberitahukan jika cerita ini dibumbui sedikit dengan konflik gangguan mental. ╰●╮ ╰●╮ ╰●╮ Ini sebuah kisah masa umur 18 tahun. Di mana kisah masa lalu yang te...