———◐☆◑———
“Kenangan menyakitkan selalu bertahan lama dalam pikiran dan rasa sakit yang dirasakan tidak mudah untuk dihilangkan.”
———◐☆◑———
.
.
.
.
.
.
.
.
📖18 Juni 2016
Adira kini tengah berada di ruangan sang ayah, berdiri dengan kepala tertunduk. Lalu, kedua tangan—dengan tangan kanan memegangi amplop putih—disimpan ke belakang. Sementara sang ayah duduk di meja bekerjanya.
“Mengapa kau lulus dengan peringkat 4? Sebelumnya saat kelas 7 dan 8 kau berada di peringkat 3. Bukannya mengalahkan Justin, malah kalah turun di bawah Satya,” tanya Thoriq dengan nada dinginnya, selalu membuat Adira ketakutan.
“Adira akan lebih bekerja keras dan mendapat peringkat yang lebih bagus, Pa,” tanggap Adira, mencoba untuk menutupi rasa takutnya.
“Baiklah, papa akan pegang ucapanmu. Jika kau tidak bisa, maka kau hanya akan menuruti perintah papa!”
Tangan yang memegang amplop semakin meremas kuat, merasa kesal dengan apa yang diucapkan pria itu.
Padahal, selama ini dia kurang apa setelah belajar dengan begitu keras, menuruti keinginannya. Mungkin, memang kemampuannya tidak sehebat mereka bertiga.
“Berikan itu!” pinta Thoriq. Lantas, Adira pun langsung memberikan amplopnya. Lalu, pria itu langsung menerima dan membukanya.
“Setidaknya nilaimu masih bisa masuk kelas unggulan di SMA Biru. Papa sudah menyiapkan segalanya. Jadi, kau hanya perlu mendapatkan peringkat 1 di sana!” Setelah itu, dia menyimpan kertas ke atas meja dan menatap Adira yang juga menatapnya.
“Akan papa pastikan Raga tidak akan masuk kelas unggulan dan Satya akan masuk jurusan IPS bersama Justin. Lalu, Dara. Kemampuan anak itu masih di bawahmu. Tapi, kau harus bertarung dengan murid bernama Nadira Ashalina, karena kemampuan anak itu hampir sama dengan Raga.”
Adira menggigit bibir bawah, mencoba untuk tidak menghela napas.
“Papa tidak bisa menyingkirkan dia untuk sementara. Papa akan melihat apa kau bisa lebih unggul dari dia. Dan batasnya sampai tahun pertama,” ucap Thoriq dan kembali bersuara, “Papa akan cukup mengasihani anak itu. Jadi, kau atasi sendiri, kalahkan dia demi Mamamu! Kau tidak lupa siapa dia, bukan?”
***
Helaan napas berat terdengar dari Adira. Kini, dia nampak tengah duduk di kursi meja belajar, kemudian menoleh pada Satya yang terlihat begitu fokus belajar.
Apa bisa kami menyerah? batin Adira.
Kamar itu sudah gelap, menyisakan lampu belajar yang masih menyala dari meja Adira dan Satya.
Penderitaan sahabat-sahabat gue semua berawal karena gue, atau karena kecelakaan itu? batin Adira.
“Ya, gue keluar sebentar. Mau cari angin.” Ucapan Adira pun membuat Satya mengalihkan fokus dan menanggapi, “Oke.”
Senyuman tersungging pada bibir Satya, kemudian dia menatap jam beker yang tersimpan di mejanya—menunjukkan pukul 22.45 WIB.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Eighteen (Hujan & Tangisan) [Revisi]
Teen FictionWARNING ⚠⚠⚠ Cerita ini sudah versi direvisi (o∩_∩o) Sebelum kalian membaca, author akan memberitahukan jika cerita ini dibumbui sedikit dengan konflik gangguan mental. ╰●╮ ╰●╮ ╰●╮ Ini sebuah kisah masa umur 18 tahun. Di mana kisah masa lalu yang te...