2. Bias Hujan

4 2 0
                                    

Seperti biasa. Sendiri selalu menjadi bagian dari cerita, tidak punya teman bukan berarti terlihat menyedihkan, justru Nadin bersyukur. Dirinya tidak bisa menjadi orang lain, sekeras apapun Nadin mencoba. Nadin adalah Nadin, ia lebih nyaman sendiri, memikirkan banyak hal atau kemungkinan yang akan ia lewati. Baginya Bumi terlalu flat, tidak ada yang menarik. Tentang tugas, laporan, buku bacaan, cerita novel atau kabar dari surat kabar yang sering dibaca ayah. Gadis sederhana yang berharap hidup akan ada perubahan dan berwarna. Ia harap bias hujan yang membuat pelangi dapat pindah ke dirinya.

Seperti kebiasaan Nadin sedang istirahat, ia menghabiskan waktu untuk duduk di koridor, menatap lapangan atau melihat banyak orang orang yang berjalan, bercerita atau tertawa. Nadin senang memperhatikan mereka. Seolah-olah mereka adalah obat kebosanannya, tapi bagi Nadin, untuk masuk ke dalam hidup mereka adalah suatu masalah. Ia menikmat--

"Nadinnn."
Suara itu. Ia memejamkan matanya, menggeram kesal, lalu bangkit dari duduk. Segera ia berjalan menghindari pemilik suara. Rasa benci semalam masih sama besar, masih baru. Nadin berbelok ke lorong, menuruni anak tangga dengan cepat, ia berbelok, namun sebuah tangan lagi-lagi menariknya kembali, mengajaknya berlari entah ke mana. Nadin yang pikirannya terus menghindari Laskar, ia hanya menurut saja dibawa kemanapun. Yang terpenting adalah untuk menghindari laki-laki itu, manusia kurang ajar yang mempermalukannya semalam.

Mereka berhenti di dekat aula sekolah. Napasnya tersenggal-senggal. Laki-laki di depannya sangat cepat sekali berlari.
"Jadi buronan?"
Nadin mengangkat wajahnya. Ia menyipitkan mata, sinar matahari menghalangi, ternyata laki-laki yang membawanya berlari tadi adalah Janu. Sudah kedua kalinya manusia ini membuat Nadin berlari.

Ia tertawa kecil. Menampakkan lesung pipi dan sederet giginya yang rapi.

"Janu."
Nadin menyapa.
"Nadin, sepertinya kamu sudah cocok untuk jadi buronan?"
"Ha?"
"Semuanya mencari mu."
"Kalau kamu punya mantra bisa kabur, boleh dicoba Nu."
"Saya gak punya mantranya. Tapi, kalau secara manual saya bisa membawa mu kabur."
Janu berjalan.
"Ayo"

"Kemana?"
"Membawa mu kabur."
Janu membawanya ke tempat para manusia berkumpul saat jam istirahat.
"Kantin?"
Ia mengagguk.
"Ini bukan tempat untuk kabur Janu."

Janu tertawa.
"Kamu serius mau kabur ?"
"Kenapa tidak."
Ia setengah serius sebenarnya berkata seperti itu. Tidak masalah untuk kabur dari bumi asal tidak berjumpa manusia menyebalkan.
"Baiklah, tapi saya butuh tenaga untuk membawa mu kabur Nadin."
Janu berjalan ke kantin, sedangkan Nadin yang di belakangnya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah konyolnya, lalu menyusul.

"Kamu jarang ke kantin?"
Nadin mengangguk.
"Kenapa?"
"Terlalu ramai"
"Kalau dengan saya? Masih menyebalkan?"
Nadin menatapnya aneh, ia meminum es teh manisnya, menatap Janu, berpikir.
"Sama saja Nu. Tidak ada bedanya, hanya saja, saya jadi punya teman."

Mata Nadin tak sengaja menatap seseorang baru saja masuk ke kantin. Janu yang menyadari perubahan muka Nadin, ia melihat ke belakang. Janu mengubah posisi duduknya, mensejajarkan dengan Nadin.
"Menunduk."
Nadin melakukannya, tanpa perlu bertanya. Janu memperhatikan Laskar yang masuk ke kantin, kepalanya celingukan, mencari sesuatu. Siapa lagi kalau bukan Nadin. Laskar mendekati meja mereka. Janu dengan sigap meletakkan tangannya membentuk siku-siku lalu meletakkan kepalanya, agar Laskar tidak bisa melihat Nadin.

Setelah beberapa menit Laskar mencari, ia keluar dari kantin. Keduanya menghembuskan napas lega.
"Makasih Nu."

Es teh manis dan dua mangkuk soto menjadi makanan untuk hari ini, ditambah dengan cerita Janu yang membuatnya melupakan Laskar. Cerita tentang surat kabar yang menyajikan kabar duka, senang, dan pesan dari seseorang. Ya, perlahan bias hujan itu akan berpindah pada dirinya.

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang