4. Amigdala

1 0 0
                                    

Ia terbangun dari tidurnya. Samar-samar indra penglihatan dan pendengarannya bekerja menyesuaikan kondisi di tempat yang tak asing. Kepalanya menoleh kesana kemari untuk mencari tahu ia berada di mana.

Tok...tok...tok...

Gadis itu terfokus pada suara ketukan pintu kayu berukiran jepara. Ketukannya menggema kuat di seluruh ruangan, tak sabaran. Orang di balik pintu itu terlalu menggebu-gebu minta dibuka cepat. Jantung gadis itu berdetak lebih cepat menyadari saat ia tahu posisinya. Ruangan ini, iya tahu sekali. Deja vu yang abu-abu. Di luar hujan lebat, kilatan cahaya petir masuk dari jendela yang tidak ditutup gorden. Ketukan pintu ke-tiga semakin bertambah kuat. Ia melihat ada yang datang dari arah kanan dalam rumah untuk membuka pintu. Bola matanya bergerak gelisah, berpikir panik. Tanpa sadar gadis itu menangis, ia bingung kenapa ia menangis. Perasaannya sedih tapi ia tidak tau kenapa. Seperti ada firasat buruk. Ia tau sekali kejadian ini.

"Jangan"
Ia menggumam kecil, kepalanya menggeleng isyarat untuk tidak membuka pintu utama, napasnya  menderu-deru. Firasatnya tidak bagus, selintas insting buruk menghampiri pikirannya. Suara petir menggelegar keras, kilatan cahaya masuk dari jendela, reflek tangannya menutup telinga dan mata. Pintu terbuka sempurna, pemilik rumah terlihat bingung karena tidak ada orang di luar. Gadis itu mengintip dari celah-celah jari dan berhitung, hingga hitungan ke-lima, seorang dari pintu mengejutkan pemilik rumah, belum sempuna keterkejutan itu, hunusan pisau sudah menembus tubuhnya berkali-kali. Gadis itu menutup mulutnya untuk tidak berteriak, tidak ada yang menyadari kehadirannya di sana. Hujan, petir, juga ukiran jepara sebagai pembatas dapur. Hanya itu yang ia ingat. Selebihnya ruangan ini kosong, seperti rumah baru yang baru dihuni.
______

Tok...tok...tok

Nadin tersentak. Napasnya menderu dan Jantungnya berdertak dua kali lebih cepat. Ia bangkit dari tidurnya, mengusap wajah yang entah kenapa matanya basah seperti habis menangis. Perasaannya risau, kenapa mimpi tadi membuatnya menangis. Mimpi sebelumnya tidak seperti itu. Mimpi yang mempunyai siklus berulang, ia datang pada tanggal 4,9,11,dan 27. Nadin tidak tau tanggal apa itu. Hanya saja mimpi buruk selalu datang pada 4 tanggal tersebut. Biasanya sebulan ia memimpikan hal yang sama berulang kali. Ini kedua kalinya. Nadin terkadang sadar ia bermimpi, namun sulit mengendalikan pikirannya karena terlalu panik dengan apa yang terjadi. Ia tidak bisa memusatkan kesadarannya.

Tok...tok...tok

Pintu kembali diketuk, gadis itu kaget. Ia membuka pintunya. Ternyata kak Lintangbyang belum tidur. Mungkin ia terganggu karena Nadin sering menginggau dalam mimpi.
"Mata mu kenapa? Mimpi itu lagi?"
Nadin mengagguk. Hanya kak Lintang yang tahu soal mimpi buruk bersiklus Nadin. Ia menyerahkan satu gelas teh panas pada Nadin.
"Pulang sekolah nanti kakak jemput."
"Gausah kak, aku bisa pulang sendiri."
"Kita gak pulang ke rumah. Kakak bawa kamu terapi mimpi buruk mu."
"Gak separah itu kak, mimpi buruk wajar kok."
"Gak wajar kalau kamu mimpinya selalu bersiklus tiap bulan dan berdampak sama mental kamu. Memang dampaknya tidak sekarang Din."
"Nadin baik-baik aja kok kak."
Sulit sekali meyakinkan Kak Lintang untuk percaya ia baik-baik saja.
"Gak Din. Ikutin saran kakak kali ini aja."
Nadin menghela napas, mengangguk setuju. Tidak ada pilihan baginya. Ia tidak bisa terus berpura-pura baik-baik saja dengan semua mimpi itu. Lagi pula, saran Kak Lintang untuk kebaikannya.
"Kak. Jangan beri tahu mama dan yang lain."
Kak Lintang mengangguk, lalu menyuruh Nadin kembali tidur.

Ia tidak bisa tidur lagi. Nadin bangkit dari tempat tidurnya, mengambil buku matematika, karena dengan itu Nadin akan tertidur. Sepuluh menit berlalu, triknya ampuh, Nadin tertidur. Selama ini ia  mengobati insomnianya dengan belajar matematika dan berpikir keras agar bisa  mengantuk. Unik, tapi trik itu selalu berhasil.

Setidaknya mimpi itu tidak datang lagi untuk kedua kalinya hari ini.
______

Di luar gerimis, namun sinar matahari jatuh lembut di halaman sekolah. Murid-murid masih bisa berlalu lalang di lapangan sekolah. Nadin menopang kepalanya dengan tangan, menatap keluar jendela. Menyaksikan orang-orang adalah hal yang paling menyenangkan tanpa perlu terlibat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang