Chapter 1

305 70 16
                                    

Meet

"Itu dulu emaknya ngidam apa sih sampe ngebrojolin anak sepedes itu?"


"PAPA!"

"PAPA, MAU MINUMAN WALNA KUNING ITU!"

"PAPAAA!"

Aku yang sedang berjongkok mencari sabun promosi di bawah rak kontan mendesis kesal. Cepat-cepat aku berdiri dan menengok kanan-kiri untuk mencari sumber suara.

Alisku mengerut ketika fokus pada satu titik di depan. Anak siapa sih itu? Nggak tau apa kalau gendang telingaku bisa pensiun duluan kalau mendengar teriakannya terus?

Kalau sekali dua kali sih nggak masalah. Lah ini udah sepuluh menit loh anak orang itu menjerit di sini. Sebentar-sebentar 'Papa Papa Papa'. Ayahnya juga mana sih? Setidaknya ditegur halus kek. Hah, mengganggu konsentrasi orang memburu diskon saja.

"Papa liat! Ini ada gambal sapi di susunya. Sapinya milip sama boneka di lumah!"

Nah itu ada bapaknya loh di samping. Main iPad pula! Telinganya berfungsi tidak sih? Masa anaknya tak direspon apa-apa.

Aku buru-buru melangkah ke kasir untuk membayar belanjaanku yang semua harganya serba diskon tadi. Selain menghindar dari suara bising bocah itu, cuaca di luar juga semakin mendung. Sedangkan aku setengah jam lagi harus sampai ke salah satu perusahaan untuk interview siang ini.

Ngomong-ngomong interview. Tadi malam aku udah latihan di depan cermin biar mimik wajahku nggak keliatan tegang pas interview nanti. Maklum lah ya, terakhir interview itu dua tahun yang lalu. Jadi sudah lupa menghadapi HRD macam apa. Konon sih kalau kita terlihat biasa aja suka dikira letoy, nggak niat kerja, pasrah. Giliran excited dikira ngarepin gaji doang.

Heu, mengsedih.

Oiya, aku juga udah siapin jawaban-jawaban yang mantap supaya diterima dan bisa segera bekerja. Ya memang sih pertanyaannya nggak sesusah tes CPNS, tapi kan HRD demennya ngejebak.

Belum kerja aja udah dijebak, gimana kalo nanti kerja, ya?

Aku menggeleng. Membuang pikiran macam-macam. Intinya diterima juga udah syukur lah.

"PAPA! MAU ITU!"

Sontak lamunanku ambyar mendengar suara itu lagi. Aku makin heran, kenapa ayahnya diam saja sih? Apa ia tak mampu membelikan apa yang anaknya mau?

Padahal kalau diliat-liat, penampilan pria yang dipanggil 'Papa' oleh anak tersebut boleh juga. Tubuhnya tegasnya dibalut dengan setelan jas berwarna abu, tampilannya begitu rapi disertai sepatu hitam mengkilap; khas sekali gaya orang kantoran dengan jabatan tinggi. Ok, nggak perlu disimpulkan lebih jauh, yang pasti pria tersebut mampu membelikan sebotol yoghurt, bahkan kalau ia mau dengan kulkas-kulkasnya sekalian pun bisa saja.

Tiba-tiba si bapak menoleh ke arah meja kasir, aku langsung membuang muka karena setengah malu tertangkap basah.

"Mbak!" Panggilnya pada kasir yang sedang menghitung barangku.

"Ya, Pak?"

"Tolong bantu anak saya, ambilin semua yang dia mau," katanya.

Lah? Kok nyuruh orang? Emang itu anak sapa dah?

Aku langsung membatin penuh sanksi.

Kasir tadi nggak langsung menuruti perintah si pria berjas abu. Ia lebih dulu memasukkan barang-barangku dengan tergesa, akibatnya barang-barang tersebut ada yang berjatuhan. Belum lagi tiba-tiba ada telepon masuk.

TwirlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang