4. Tengkar

331 36 3
                                    

Ada gemetar di sekujur tubuh
Ketika tengkar tak mampu ingkar

Tercipta di antara keduanya yang mengira baik-baik saja
Terus menjalar tanpa dapat dihindari.

~•~

"Lah, Bar muka lo kusut amat dah. Kenapa lo?"

"Nggak sama ibu negara ke sini?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Laskar dan juga Samudra sama sekali tak digubris oleh Bara. Setibanya di warung Abah, Bara langsung melenggang masuk untuk mengambil sebungkus rokok dengan koreknya, lalu kembali keluar dan berjalan sedikit menjauh dari para sahabatnya.

Laskar melirik Cakra yang memang tadi laki-laki itu sempat bersama Bara. Cakra menggedikkan bahunya tanda bahwa ia sendiri pun tidak tahu. Kemudian, kemunculan seseorang di sana menarik perhatian mereka.

"Bar, Bara." panggil Luna setibanya di antara mereka.

"Eh, ibu negara kemana aja? Tadi bang Cakra cariin loh." seloroh Cakra disertai kekehan.

Luna menyempatkan untuk tersenyum dan menjawab, "Tadi abis rapat, Cak."

"Sini duduk neng Luna." pinta Rigel sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Iya, duduk dulu, Lun. Muka lo keknya tegang amat dah." celetuk  Samudra.

Karena merasa tak enak untuk menolah, Luna menurut saja. Duduk di sebelah Rigel, namun pandangannya tak lepas dari sosok laki-laki di kursi paling ujung yang duduk memunggunginya. Dari kepulan asap di sana, Luna tahu bahwa laki-laki itu sedang merokok. Dan, Luna menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan, karena Bara hanya akan merokok jika dirinya sedang kalut.

"Lo tengkar lagi?" Luna menoleh ke arah Utara—laki-laki paling pintar di Galaxsky dan juga paling kalem—biasa menjadi andalan para anggota lainnya jika ada tugas sekolah.

Luna tersenyum kecut dan mengangguk pelan.

"Pasti si bos yang bikin ulah nih," tebak Mars yang disetujui oleh Cakra.

"Pasti! Emang ye, sehari gak tengkar tuh keknya mustahil banget. Mending kawin dah lo." Ucapan Cakra barusan langsung mendapat jitakan dari laki-laki yang baru saja tiba. Tak lain adalah Laskar.

"Main kawin aja lo. Nikah dulu, goblok."

"Sama aja,"

"Beda, Cak. Jangan sampe nih tongkat melayang ke lo." Laskar memainkan tongkat baseball yang ia bawa seraya mengambil tempat di sebelah Utara. Keningnya mengerut ketika melihat Bara yang tak ikut bergabung dengan mereka.

"Ck, ibu negara sama pak presiden tengkar lagi aja. Gih, sana Lun, dibujuk dulu pak presidennya biar gak ambekan."

"Tapi, gue takut." lirihnya.

"Yailah, ngapain takut sih? Lo, kan, pawangnya si Bara. Pasti nurut dah tuh bocah kalau sama lo mah."

"Bener, gue setuju."

"Sana samperin, daripada makin ngambek. Jarang-jarangin deh kalian kek gini. Pusing gue liatnya."

"Bener, gue setuju."

Laskar memberi tatapan tajam pada Cakra, "Cak, sekali lagi lo ngomong begitu, gue jahit bibir lo."

"Salah, gue nggak setuju." ucap Cakra, lalu melanjutkan ucapannya, "Eits, nggak boleh marah. Kan, tadi gue udah beda ngomongnya."

Plak

Samudra yang kebetulan berada di samping Cakra mewakilkan Laskar untuk memukul laki-laki itu, membuatnya mengeluh kesakitan dan langsung terdiam.

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang