"Kemana aja lo?".
Rara berhenti berjalan, menghadap pada suara seseorang yang begitu sangat dihapalnya. Bola matanya membesar begitu benar-benar Akmal yang memanggilnya barusan. Ia terlalu banyak melamun hari ini.
Laki-laki itu tengah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas kendaraan. Dekat dengan sepeda biru keduanya.
"Huh?".
"Dimana Fatimah?". Tanya Akmal.
"Udah pulang duluan". Kawan Rara seadanya. Gadis itu masih dalam pikiran yang mengambang.
Akmal berdecak, kemudian ia menaiki sepedanya mengayuh dengan pelan.
"Kak!". Panggil Rara, membuat Akmal berhenti dan membalikkan sebagian tubuhnya menghadap gadis itu.
Rara berlari kecil menghampir Akmal. Ia menggenggam tali tasnya, menguatkan tekatnya. "Aku ikut Kak Akmal, okey?". Katanya penuh antusias dan langsung menaiki belakang sepeda laki-laki itu yang membuat Akmal kebingungan.
"Tunggu! Gue ngga bilang iya". Ketusnya.
"Ck. Ya ampuun Kak ngga apa-apa sekali-sekali doang. lagian masa Kakak tega si ngebiarin aku nuntun sepedaku. Udah sore nih. Rumah aku kan jauh".
"Kalo gitu, kenapa lo bawa-bawa sepe lo itu kalo tau bakalan nyusahin?!". Gerutu Akmal sambil memulai mengayuh sepedanya lagi. Kali ini dia membiarkan Rara ikut dengannya. Mungkin sesekali tidak masalah, pikir Akmal.
"Karena aku suka sepeda!". Seru Rara riang.
"Cih, suka sepeda tapi ngga bisa naek sepeda. Ngibul aja lo".
"Ih, Kakak sentimen banget si. aku tuh beneran ngga ngibul. Aku emang suka sepeda, tapi sepeda khusus. kaya sepeda biru punya kita". Jelasnya.
Akmal diam, tidak berniat menanggapi penjelasan Rara.
***
Akmal mempercepat kayuhan sepedanya, lalu berhenti di dekat pabrik tua yang masih berfungsi. Rara serega berteduh yang disusul Akmal setelah meletakkan sepedanya dengan baik.
Mereka diam menikmati hujan, memperhatikan rintikan hujan yang jatuh menggenang di tanah dengan pikiran masing-masing, sampai Rara akhirnya mulai bosan.
Begitu ikut merasakan bosan, pandangan Akmal beralih pada Rara. Ia mulai memperhatikan tingkah gadis itu yang tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya.
"Huuuuhhhh".
Akmal tertawa kecil, membuat Rara menatapnya dengan cepat. Akmal tertawa! Dan dia bisa melihatnya langsung. Ini benar-benar reward untuknya. Ia rela setiap hari hujan kalau bisa melihat tawa Kakak kelas kesukaannya.
"Apa?". Tanya Akmal, kembali lagi pada ekspresi biasanya.
Rara menggeleng dan tersenyum. Lalu gadis itu berdiri, melanjutkan menatap hujan. Akmal mengikutinya berdiri memperhatikan Rara yang kini nenengadahkan satu tangannya ke depan, menampung hujan.
"Setiap tahun 3-4 miliar air dibawa dari lautan menuju daratan untuk dapat dinikmati dan dimanfaatkan manusia. Tapi masih saja di sebut sebagai bencana untuk bumi, entah karena derasnya atau karena banyaknya air hujan yang turun ". Kata Rara masih sambil menampung air hujan di telapak tangannya.
Akmal mengalihkan pandangannya dari Rara ke depan. Berpikir sejenak dengan kata yang baru saja di ucapkan gadis itu.
"Selama bertahun-tahun para ilmuan bingung menjelaskan kenapa rata-rata kecepatan air hujan hanya 8-10km/jam, karena menurut 'Teori Gerak Jatuh Bebas' dengan mengabaikan gaya gesek kecepatan minimal hujan sebesar kurang lebih 552,96 km/jam". Tutur Akmal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepeda Biru
Novela JuvenilYa, dulu aku sangat tidak menyukainya. Tetapi kini aku menyadari suatu hal yang membuatku mengerti bagaimana menerima dan melepaskan. Membuat aku memahami kata tulus dan ikhlas yang selalu di ajarkan oleh Nabiku. Juga membuatku mengerti bagaimana be...