Epilogue : The Cockpit

169 15 2
                                    

Rasanya sudah lama sekali aku berada disini walaupun waktu tetap menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh.

Awan yang kulihat dari dalam jendela pesawat tidak pernah berubah, selalu berada di tempat yang sama, bukti kalau pesawat yang kutumpangi tidak akan pernah bergerak seinci pun, tidak akan pernah membawaku pulang kerumah.

Sedikit demi sedikit dari kami para penumpang, mulai menghilang satu persatu, mereka menghilang mungkin karena keluarga sudah mengikhlaskan kematian mereka, namun aku tetap tidak menghilang, aku masih disini bersama Ghina di sebelahku.

Ibu Ghina, sudah lama sekali menghilang, namun entah kenapa anak ini tidak menghilang, yang kulihat dari wajah Ghina adalah wajah kesedihan, serta kepolosan. Mungkin ia bingung, mengapa kami tidak kunjung sampai ke tujuan.

Bagaikan kenangan yang mulai memudar, mungkin jika waktu masih berjalan, aku sudah bertahun tahun berada disini. Kira kira, apa yang sedang kulakukan jika kecelakaan itu tidak terjadi? Mungkin, aku sudah bahagia menikah bersama Nimas, memiliki anak, dan menua bersama.

Seorang pramugari yang masih menjalankan kewajibannya bahkan setelah ia meninggal, sedang berkeliling mengecek para penumpang yang tersisa, kalau kalau mereka butuh bantuannya. Pramugari itu datang ke arahku.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya pramugari tersebut.

"Jam berapa sekarang?" Tanyaku seperti biasa, entah sudah berapa kali aku bertanya.

"Jam delapan lewat tiga puluh" Jawab pramugari itu tersenyum, lalu kembali berjalan mengitari bangku penumpang.

Ghina membuka sabuk pengamannya, lalu turun dari bangku penumpang. Baru kali ini ia turun, selama ini ia hanya terdiam saja di bangkunya entah memikirkan apa.

"Gina mau pipis!" Kata Ghina. "Temenin Gina dong Om, Mama enggak ada"

Aku tersenyum simpul, lalu membuka sabuk pengaman dan bangkit menuntun Ghina ke arah toilet. Aku tahu, kami tidak mungkin buang air lagi, entah apa yang dipikirkan anak ini.

Ghina masuk ke dalam toilet, aku menunggu diluar. Suara air terdengar dari dalam toilet, mungkin Ghina hanya rindu menjadi manusia hidup.

Lalu, terdengar suara isak tangis dari dalam, Ghina menangis. Aku tahu itu.

"Ghina?" panggilku.

Lalu, Ghina membuka pintu toilet dan memelukku.

"Pipisnya engga kelual, Gina nangis engga kelual ail mata, Gina kenapa Om, Gina sakit yaa" Isak Ghina tanpa mengeluarkan air mata.

Aku hanya bisa terdiam, membiarkan Ghina 'menangis' di pelukanku. Disebut menangis, sepertinya bukan. Karena tidak mengeluarkan air mata.

Beberapa saat kemudian, aku menyadari sesuatu yang aneh
Tubuh Ghina mulai pudar, tembus pandang, Ghina akan pergi ke 'tempat itu', tempat yang mungkin disebut alam baka, Ghina tersenyum bahagia bersamaan dengan tubuhnya yang makin samar samar.

"Dadah Om! Ghina pulang dulu mau ketemu mami papi" Kata Ghina melepas pelukanku, Lalu ia pun menghilang.

Ah, aku iri sekali. Aku juga ingin pergi, tapi aku tertahan disini. Penumpang disini pun, sisanya bisa dihitung jari.

"Permisi pak, tolong kembali ke bangku anda" Tegur seorang pramugari yang berbeda dengan yang biasanya kutanyai jam, Pramugari ini terlihat sayu.

Tapi aku tidak menghiraukannya, aku tahu, tidak ada gunanya aku duduk di bangku ku, bahkan sabuk pengamanpun tidak bisa menyelamatkanku, Pramugari ini hanya menjalankan tugasnya.

"Boleh aku masuk kokpit? aku ingin bertemu pilot" tanyaku langsung.

"Maaf Pak, tidak bisa" jawab Pramugari itu.

Eternal Flight (Based On SJ182) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang