S M ; s a t u

71 13 5
                                    

'Jangan tutup pintu hatimu, sebab kau tak akan tahu, bagaimana hari esok akan menyambutmu dengan senyuman atau air mata'

______________________________

"IBUU?!"

"Iya Rara, kamu perlu apa?" Tanya wanita itu dengan sedikit nafas yang tersengal-sengal.

"Ini sarapannya mana?! Ibu mau aku mati kelaparan di sekolah?!" Tanyanya geram. Rara menahan diri untuk tidak menampar wanita ini 'lagi'.

"Maaf Rara, ibu tadi kesiangan, ibu gak sempat masak buat kamu," jawabnya menunduk takut.

Kini tangan Rara sudah menjambak kasar rambut yang mulai beruban itu. "Dasar gak guna! Kenapa gak sekalian aja ibu gak bangun-bangun lagi?!"

"A-ampun Rara, ma-mafin ibu, tolong lepasin tangan kamu, kepala i-ibu sakit Ra-ra," ia merintih kesakitan, kepalanya serasa mau pecah.

"Aku gak peduli! Mau kepala ibu sakit atau apapun itu, aku gak peduli!" Tangannya semakin menarik kasar rambut wanita itu, sampai kepalanya mendongak keatas.

"Maaf Ra-ra, ib-u janji gak akan ke-ulang la-lagi," pintanya lagi dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

Dengan kasarnya, Rara melepas jambakannya pada Rina-ibunya, lalu mendorongnya hingga wanita itu terjatuh dilantai.

Ia menatap Rina dengan wajah yang sudah memerah padam. "Inget yah bu! Ibu itu disini cuma numpang dirumah aku! Harusnya ibu sadar diri! Ibu itu cuma jadi beban!" Pukasnya lalu berlalu pergi dari hadapan Rina.

Rina tersenyum menanggapi ucapan anaknya. "Maaf Ra, ibu gak bisa ja-jadi yang terbaik untuk ka-kamu," ucapnya lirih dengan air mata yang semakin mengalir deras di pipinya.

*****

"Bangun lo cupu!"

"Ma-maaf kak, sa-saya gak sengaja," lirih gadis itu. Lututnya sangat nyeri akibat tendangan yang diberikan oleh kakak kelasnya.

"Punya nyawa berapa sih lo? Berani lo sama gue?!"

Gadis itu memejamkan matanya takut. Kini ia merasa rambutnya dijambak kasar, ingin pingsan saja rasanya.

"Makanya, kalo gue bilang bangun, lo harus bangun bangsat!" Dengan kasarnya Rara melepas jambakannya pada rambut gadis itu lalu melemparnya ke tembok.

'Brukk!'

"Awshh! Ma-maf kak, tolong ja-jangan apa-apain sa-saya," pinta gadis itu memelas. Badannya terasa remuk semua saat badannya didorong ke tembok.

"Alah! Gak usah didengerin Ra, nih anak dibiarin lama-lama makin ngelunjak," timpal Dina, salah satu teman Rara.

Rara nampak menyeringai. Ia maju selangkah lalu menghampiri gadis berkacamata itu. "Lo itu cuma orang kampung yang gak pantas ada disini!" Ia mencengkram kuat bahu gadis itu kuat.

Lily, gadis itu mengaduh kesakitan akibat merasakan kuku Rara ditubuhnya. "Ma-af kak, saya min-ta ma-maaf," lirihnya dengan air mata yang sudah mengalir.

'Plak!'

"Dasar gak guna! Mati aja lo anjing!"

Rara tersenyum puas saat melihat Lily yang sudah sangat ketakutan. Ia melepaskan tangannya dari bahu Lily dan kini sudah berada dipuncak kepala gadis itu.

Ia mengacak kasar rambut gadis itu, kemudian kata-kata umpatan keluar begitu saja dari mulutnya.

Dina berjalan mendekat kearah Rara, kemudian membisikkan sesuatu yang menurutnya sangat memuaskan.

"GUYS! HARI INI KALIAN SEMUA BEBAS PESEN APA AJA, BIAR CEWEK CUPU INI YANG BAYARIN!"

Kantin yang tadinya sunyi senyap, kini mulai heboh akibat ucapan Rara.

'Asikk, makan gratis cuy!'

'Mang Oleh, Odadingnya satu lagi yah?!'

'Mpok Alpa, saya somaynya nambah dua mangkok lagi dong!'

'Bi Siti, bakso bakarnya nambah lima piring lagi dong!'

Rara tersenyum puas saat melihat Lily yang sudah keringat dingin. Ia yakin, cewek itu tak mampu membayar pesanan teman-temannya.

"Jangan lupa dibayar yah sayang," ucapnya dengan mencubit kasar pipi Lily. Tak lupa ia juga menendang perut Lily, tepat di bagian lambung, kemudian beranjak dari tempat itu.


*****

"Mau jadi apa kamu Rara?!" Geram pak Wahyu melihat Rara yang nampak 'sangat' biasa saja saat diberi tatapan tajam olehnya.

"Aduh pak, bapak gak usah marah-marah kaya gitu dong, bapak mau tekanan darah bapak naik?" Pak Wahyu makin menatapnya tajam.

"Kamu ini seperti anak yang tidak disekolahkan! Mana attitude kamu Rara?!" Ujar pak Wahyu meninggikan suaranya.

Tentu saja Rara menghela napas jengah. "Yaudah saya minta maaf deh," Rara menjulurkan tanganya, berniat bersalaman dengan pak Wahyu.

"Kamu pikir, kamu ini siapa? Kamu sudah berulang kali membuat masalah Rara!" Geram pak Wahyu, ia mencoba sabar menghadapi tingkah laku murid yang menjadi langganan BK ini.

"Saya bukan siapa-siapa kok pak, saya hanya rakyat jelata yang ditinggal mati ayah saya," ujar Rara yang seperti tengah curhat.

"Ah! Bisa gila saya lama-lama ngehadapin murid kaya kamu!" Ujar pak Wahyu Jengah.
"Yaudah pak, bapak ngadep kebelakang aja, jangan ngadep depan biar gak ngeliat tingkah saya," jawab Rara terkekeh kecil.

"Diam kamu Rara!" Tegas pak Wahyu, ia sudah cukup sabar menghadapi tingkah Rara yang jahil. Ia mengambil sebuah surat dilaci meja, lalu menyerahkannya pada Rara.

"Kasih surat ini untuk orang tua kamu, besok suruh mereka datang menemui saya," ujar pak Wahyu sebelum Rara bertanya.

"Saya udah gak punya orang tua pak," sahut Rara ogah-ogahan. Sepertinya ia tak memperdulikan bagaimana perasaan Rina saat Rara tak mengakuinya sebagai ibunya.

"Terserah kamu saja, mau panggil om, tante atau pembantu kamu pun saya gak ngurus. Saya hanya minta kamu memanggil perwalian kamu untuk datang kesini!"

"Oke pak! Em- bapak gak mau ngasih saya THR gitu? Gak lama lagi mau lebaran loh pak," ia mengambil surat itu kemudian terkekeh kecil.

"RA-"

"Saya pamit pak!" Ucap Rara lebih dahulu dan berlari keluar sebelum suara pak Wahyu memecahkan gendang telinganya.

______________________________

TBC...

Gimana untuk chapt kali ini?

Jangan lupa kritikannya, aku juga masih pemula;)

10 vote and 5 coment untuk lanjut ke next part!!

Sorry Mom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang