seventeen

358 75 9
                                    

Aku meletakkan tasku di bangku kayu yang ada di halaman depan villa, kemudian mengeratkan kardigan yang aku pakai. Membiarkan angin Puncak yang dingin menerpa wajahku, serta meniup helaian rambutku yang tidak aku ikat. Mataku memandang jauh ke depan. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Hanya rumput-rumput liar yang tinggi. Itu pun juga tampak samar karena gelap.

Dini hari ini, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Mengakhiri liburan yang memang tidak seharusnya aku mulai.

Shaka menawarkan diri untuk mengantarku. Tapi aku jelas menolaknya. Aku tidak mau Raya bangun keesokan paginya dan menemukan kalau cowoknya jauh-jauh kembali ke Jakarta untuk mengantar orang lain. Lagipula, kedatangan kami ke sini adalah merayakan ulang tahun Shaka. Tidak enak rasanya kalau urusanku malah jadi merepotkan cowok itu.

Maka setelah menunggu tangisanku reda, Shaka bergegas membangunkan Juna. Menyuruh laki-laki Barata itu agar pergi ke Jakarta bersamaku.

"Neng." panggilan itu membuatku menoleh.

Juna, dengan wajah yang masih mengantuk dan baju piyamanya yang berwarna pink, sudah berdiri di ambang pintu utama villa. Dia menggaruk pipinya sebentar, sambil menguap lebar. Membuatku jadi tidak tega melihatnya.

"Maaf ya jadi ngerepotin," kataku sungguh-sungguh merasa bersalah.

"Nggak! Bukan salah lo kok," sangkalnya. "Mau berangkat sekarang?"

Sejenak, Aku memandangi rintikan air hujan yang turun. Pikiranku berantakan. Apa sekarang cowok itu sudah baik-baik saja? Apa dia bisa tidur? Apa tubuhnya masih terasa sakit?

Namun, aku sudah memutuskan untuk tidak lagi kembali. Apapun yang terjadi pada Regan, itu sama sekali bukan urusanku. Aku harus menyembuhkan luka-lukaku dan melindungi diriku sendiri.

"Yuk!" aku mengangguk yakin.

Baru saja kakiku hendak melangkah ke parkiran mobil, tangan Juna sudah lebih dulu mencegahku.

"Tunggu sini aja, Neng. Biar gue yang ngambil mobilnya. Hujannya lumayan deres soalnya," kata Juna, menunjuk ke arah langit yang kelabu.

Aku menurutinya. "Iya," kataku.

•••

Perjalanan Bogor-Jakarta memang tidak memakan waktu lama karena jalanan yang sepi. Tapi sekarang, aku dan Juna berhenti di salah satu rest area. Ini karena Juna yang mengantuk dan aku yang tiba-tiba ingin ke toilet.

"Jun." aku menggoyangkan bahunya pelan, hingga cowok itu tersentak kaget dan bangun dengan gerasak-gerusuk.

Dia melihat sekeliling dengan linglung. "Hah kenapa, Liv? Mau lanjut lagi jalannya?"

Aku tertawa kecil. "Apa sih, Jun. Gue cuma mau ngasih ini. Buat isi perut," ucapku. Menyodorkan salah satu pop mie yang aku pegang.

Wajah Juna langsung berubah semangat. Dia menerima pop mie yang aku berikan dan langsung meminum kuahnya, yang aku yakin masih sangat panas itu. Tidak ada percakapan apapun lagi yang terjadi. Hanya ada suara seruputan kuah dan mulut yang sibuk mengunyah.

Juna tiba-tiba membuka pintu mobil. Cowok itu melompat turun dan pergi entah kemana. Sepertinya mencari tempat sampah untuk membuang bekas cup-nya. Aku melirik sosoknya dari kaca spion. Menyadari jika dia menjadi pusat perhatian beberapa orang di rest-area ini, akibat piyama pink miliknya yang terlihat sangat lucu dan mencolok. Tapi Juna mana peduli dengan hal-hal seperti itu. Dia bahkan pernah pergi ke sekolah sambil memakai tas bunga-bunga milik adik perempuannya.

"Tas gue dicuci emak. Kalau gak pake ini, masa buku-buku gue mau dikresekin?!" begitu jawabannya, waktu ada salah satu temannya yang bertanya.

Suara pintu bagasi yang dibuka, membuatku menoleh karena sedikit terkejut. Juna meraih sesuatu dari sana dan membawanya masuk kembali ke dalam mobil.

Two of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang