Tahun ajaran baru resmi dimulai hari ini.
Seperti biasa, sebelum kegiatan belajar mengajar benar-benar dilaksanakan, seluruh murid diperintahkan untuk datang ke aula utama. Mendengarkan sambutan 'hangat' dari kepala sekolah dan juga para guru.
Semua orang kelihatan bersemangat. Terutama para murid-murid kelas 10 yang sepertinya sudah sangat menunggu momen ini, dimana mereka akhirnya menginjakkan kaki di sekolah menengah atas. Sambil menyelipkan harapan-harapan kecil di dalam hati, agar setidaknya masa putih abu-abu mereka bisa seindah film-film klise di luar sana.
Aku harap aku bisa se-semangat mereka. Tapi nyatanya tidak. Aku benar-benar tidak punya motivasi untuk hari pertama pada tahun terakhirku di SMA.
Mataku mencoba mencari Raya, salah satu teman yang aku punya di tempat ini, yang sudah lebih dulu masuk ke dalam aula untuk mencari tempat duduk bagi kami berdua. Lalu akhirnya aku menemukan gadis berambut hitam sepunggung itu. Duduk di barisan paling belakang, bersama teman-temannya. Aku tahu mereka. Para murid populer, yang selama ini dianggap sebagai berandal sekolah karena tingkah mereka yang ada-ada saja.
Raya berbeda denganku. Dia adalah gadis yang menyenangkan dan tahu bagaimana caranya bersenang-senang. Semua orang di angkatan kami adalah temannya, khususnya mereka yang aku sebutkan tadi.
"Oliv, sini!" serunya sambil melambaikan tangannya.
Otakku berpikir sejenak. Aku tidak pernah nyaman berada di tengah teman-teman Raya itu, meskipun kami saling mengenal karena berada di angkatan yang sama. Namun, saat ini aku tidak punya pilihan selain menyetujuinya. Tempat lain sudah penuh, dan aku tidak ingin terlihat tidak menghargai Raya yang sudah menyisakan satu kursi kosong di sebelahnya untukku.
Maka aku menganggukkan kepalaku sambil melempar seulas senyum kecil. Kakiku berjalan mendekat ke arah kursi itu, lalu kemudian duduk di sana. Tepat di antara Raya dan seorang laki-laki berwajah galak, yang sedang bersender malas di kursinya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Sorry," bisik Raya padaku.
Aku menatapnya bingung. "Soal?"
"Lo jadi harus duduk di sini," ucapnya berterus terang.
"It's okay." aku mengangguk mengerti. "It's not that bad."
"Oliv!" baru saja aku berpikir jika semua akan berjalan dengan tenang sampai acara membosankan ini selesai, tahu-tahu seorang cowok dengan wajah selengean dan senyum sejuta watt andalannya, membalikkan tubuhnya menghadapku. Suaranya cukup keras, sehingga orang-orang di sekitar kami melirik sedikit. "Gimana kabar lo? Lama juga ternyata kita gak ketemu. Kangen deh gue sama lo."
Aku tersenyum canggung pada Dewa, laki-laki yang jarang sekali bicara pada orang lain, selain teman-teman satu gerombolannya. Setahuku, Dewa ini agak terlalu terus terang dan tidak bisa berbasa-basi.
"Jangan genit sama temen gue!" Raya melotot pada Dewa. Menyuruh laki-laki itu untuk diam.
Dewa mengerucutkan bibirnya. "Salahnya dimana sih, kalo gue kangen sama Oliv???" protesnya.
"Oliv ogah dikangenin sama spesies kayak elu." seseorang yang duduk di sebelah Dewa, ikutan menyahut. Dia Juna, orang yang menurutku paling berisik namun juga paling menyenangkan di gerombolan ini. "Gue baru sadar, warna rambut lo berubah," komentarnya setelah menatapku selama beberapa saat.
Tanganku refleks menyentuh rambutku, yang hari ini memang sengaja tidak aku kuncir. Merasa kikuk karena ada seseorang yang menyadarinya. Sekolah kami memang membebaskan murid-muridnya untuk mewarnai rambut mereka saat mereka naik ke kelas 12. Jadi, itu kenapa aku akhirnya memutuskan untuk membuat sedikit perubahan pada diriku, dengan mengganti warna rambutku.
"Wow, chill." Juna tergelak. "Gue gak bilang itu jelek."
Pipiku memanas. "Makasih?" ucapku yang malah terdengar seperti pertanyaan.
"Juna, Dewa, hadap depan!" seruan seorang guru yang lewat di samping kami, membuat dua laki-laki itu langsung membenarkan posisi duduk mereka. Sementara Raya terkikik sambil mencibir kedua temannya itu.
Aku menyenderkan tubuhku pada kursi dan menghela napas, merasa sedikit lega karena akhirnya aku tidak perlu lagi terjebak dalam suasana se-canggung tadi. Walaupun sebenarnya, diam-diam aku berharap jika aku bisa terlihat lebih ramah dan juga menyenangkan daripada diriku beberapa menit yang lalu.
Kepala sekolah kami naik ke atas panggung. Membuat aula yang tadinya dipenuhi suara murid-murid yang mengobrol, mendadak hening. Aku berusaha untuk menaruh perhatian penuh pada sambutan yang diberikan, sampai akhirnya aku merasa seseorang sedang memperhatikanku lekat-lekat. Itu jelas bukan Raya. Karena saat ini, cewek itu sedang meletakkan kepalanya di atas bahuku dan tertidur.
Aku menoleh pelan ke sebelah kiri, kemudian mengangkat pandanganku. Membuat mataku langsung bertabrakan dengan iris coklat gelap milik laki-laki yang duduk di sampingku.
Seperti tersengat listrik, aku langsung mematung di tempat. Ada sesuatu dari laki-laki itu yang membuatku tidak ingin sedikit pun mengalihkan pandanganku.
Dalam jarak sedekat ini aku dapat melihat wajahnya yang tirus, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal, dan juga kulitnya yang pucat. Pagi ini dia mengenakan hoodie hitam yang jelas tampak kebesaran di tubuhnya yang kurus.
Wajahnya terlihat asing bagiku. Meskipun aku tidak mengenali seluruh orang yang di sekolah ini, aku yakin jika aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.
"Liat depan," katanya mengejutkanku. Membuat suaranya yang parau dan berat, menjadi satu-satunya hal yang dapat aku dengar saat ini. Dia tersenyum miring padaku, kemudian kembali bicara dengan nada yang lebih rendah daripada sebelumnya, hingga nyaris terdengar seperti sebuah bisikan, "Olivia."
Jantungku berdegup dengan sangat kencang saat ini, tepat setelah dia menyelesaikan kalimatnya. Membuatku dilanda perasaan gugup luar biasa yang bahkan aku sendiri, tidak tahu darimana datangnya.
Tanpa menjawab perkataannya, aku segera memalingkan wajahku. Tidak ingin berinteraksi dengan laki-laki itu lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two of Us
Teen FictionTanpa Regan, Olivia tidak akan pernah tahu jika dirinya bisa se-berharga itu untuk orang lain. Dan tanpa Olivia, Regan hanya ruang kosong yang penuh dengan suara teriakan dan rasa frustasi tanpa ujung. ©2020 by geniswari