Don't walk away, don't roll your eyes
They say love is pain, well darling, let's hurt tonight
One Republic— Let's Hurt Tonight.•••
"Lo beneran gak jadi dateng, Liv?"
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur dan menatap ke arah langit-langit kamar. Di seberang sana, aku dapat mendengar suara berisik dari orang-orang yang sedang mengobrol sebelum pada akhirnya Raya mencari tempat yang lebih sepi untuk bisa menginterogasiku lebih jauh. Walaupun aku yakin, dia tidak akan menerima alasan apapun yang keluar dari dalam mulutku.
"Talk to me," kata Raya tegas.
Tidak mungkin aku memberitahu Raya soal perkataan Regan yang membuatku kehilangan minat untuk datang ke acara Shaka. Aku bisa membayangkan Raya bakal langsung menghampiri Regan dan mengata-ngatai cowok itu, yang artinya akan semakin memperburuk suasana.
"Gue cuma gak pengen dateng aja, Ray," ucapku pelan. Jari telunjukku memilin-milin ujung kaos yang aku pakai. Berharap itu bisa mendistraksi pikiranku dari acara Shaka, perkataan Regan, dan rasa kesalku.
Raya menghela napas. "Tapi ini salah satu kesempatan kita buat ngehabisin waktu bareng-bareng sebelum lulus, Liv. Habis ini kita pasti bakal sibuk masing-masing," ujarnya, masih mencoba membujukku.
Aku tidak bisa berkilah lagi karena apa yang dikatakan Raya itu 100% benar.
Kelulusan yang terlihat jelas di depan mata itu sebenarnya selalu membuatku merasa terganggu. Meskipun nanti, setelah kami semua berpisah dan melanjutkan hidup kami masing-masing aku tidak akan menjadi seseorang yang selalu diingat, tapi mereka semua tetap menjadi bagian penting pada masa putih abu-abuku yang akan berakhir hanya dalam hitungan bulan. Aku jelas akan merindukan orang-orang yang aku temui hampir setiap hari, selama tiga tahun ini.
Tapi malam ini, aku merasa datang ke sana bukan lah keputusan yang tepat. Aku sudah menolak ajakan Juna dengan mengatakan ada yang harus di rumah. Aku juga tidak mau bertemu Regan dan melihatnya bersama April.
"Wikan udah ada di sana, Ray?" tanyaku mengalihkan topik.
"Udah," jawab Raya. Lalu suaranya terdengar seperti orang terkejut, "Lah?!"
"Kenapa lo?" tanyaku.
"Jangan bilang lo gak jadi dateng ke sini gara-gara Juna gak jadi ngajak lo?!" tukas Raya heboh.
Keningku mengerut. "Nggak. Gue yang bilang ke Juna kalo gue gak bisa dateng," jelasku. "Emang kenapa, sih?"
"INI SI JUNA DATENG SAMA APRIL." Raya berbisik keras. Dia menahan suaranya agar tidak kelepasan berteriak.
Mataku otomatis melebar mendengarnya. Tidak mengerti kenapa Juna tahu-tahu malah datang bersama April. Bukannya gadis itu seharusnya bersama Regan?
"Kenapa sih temen-temen gue bikin pusing. Si Regan bilangnya bakal dateng, tapi sampe sekarang gak ada kabar. Malah cewek yang seharusnya jadi pasangan dia udah dateng duluan. Sama orang lain lagi!" omel Raya. Aku bisa membayangkan wajah kesal bercampur pusingnya saat ini.
Aku tergelak. "Mungkin—"
"Olivia!"
Suara Ibu dari bawah membuatku menurunkan ponselku dari telinga.
"Oliv, ada tamu, nih!" kata Ibu lagi.
"Siapa, Liv?"
"Gak tau?" aku menggelengkan kepalaku. "Ada tamu katanya. Gue tutup dulu ya, Ray. Have fun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Two of Us
Teen FictionTanpa Regan, Olivia tidak akan pernah tahu jika dirinya bisa se-berharga itu untuk orang lain. Dan tanpa Olivia, Regan hanya ruang kosong yang penuh dengan suara teriakan dan rasa frustasi tanpa ujung. ©2020 by geniswari