fifteen

345 75 15
                                    

Aku turun dari motor Wikan, setelah kami sampai di depan rumah besar dengan beberapa mobil yang terparkir di halamannya yang luas.

Hari ini, seperti yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari, aku akan ikut bersama Regan dan teman-temannya ke Puncak Bogor. Entah masih dalam rangka merayakan ulang tahun Shaka, atau memang hanya acara jalan-jalan biasa. Tapi dari yang aku dengar, Shaka dan Regan sudah mengurus semua fasilitas untuk kami semua selama di sana.

Wikan tidak ikut, meskipun aku dan Shaka sudah membujuknya. Pertama, karena Regan ada di sana. Kedua, karena ibu Wikan tiba-tiba memasukkan dia ke salah satu bimbingan belajar, setelah melihat hasil try out-nya yang jelek. Jadi sekarang, Wikan hanya mengantarku ke rumah Shaka dan kemudian langsung pergi les.

"Lo beneran gak mau ikut, Wik?" tanyaku sedih. Hanya Wikan yang benar-benar bisa aku ajak bicara, dan kali ini dia justru tidak ikut. Aku tidak bisa mengharapkan Raya karena cewek itu pasti akan lebih sibuk dengan Shaka dan teman-temannya yang lain. Sementara Regan....

Ah, Regan. Aku sendiri tidak ingat sudah berapa hari kami tidak saling bicara.

Dia jelas menghindariku di sekolah. Tapi tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Regan bahkan memblokir kontakku dari ponselnya. Dia bukan lagi hanya bersikap acuh, tapi benar-benar menganggapku seperti tidak ada. 

Aku tidak pernah merasa sejauh ini dari Regan. Namun melihatnya situasi yang terjadi di antara kami, aku sadar bahwa Regan sedang berusaha mendorongku sejauh mungkin dari kehidupannya dan kembali menjadikanku sebagai seseorang yang asing untuknya.

Yang paling menyakiti perasaanku adalah, aku sama sekali tidak tahu alasannya. Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang salah. Aku juga tidak mendesak Regan untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya. Lalu apa yang membuatku pantas diperlakukan seperti ini?

"Kalo gue ikut, bisa-bisa ntar pulangnya gue dipukul Bunda pake buku Kiat-Kiat Sukses SBMPTN yang tebelnya kayak dosa-dosa gue itu," oceh Wikan.

"Yah." aku menghela napas. "Terus ntar gue sama siapa dong?"

"Kan ada pujaan hati lo alias Regan," kata Wikan. Tapi ketika mengingat jika hubunganku dan Regan sedang tidak baik, dia langsung memberiku cengiran kecil. "Nanti di sana, jangan lupa kabarin gue terus. Kalo lo mau marah, mau ngomel, apa mau berbagi kebahagiaan, nomer gue selalu aktif buat dihubungin kapan aja."

Kalimat itu membuat perasaanku jadi lebih baik.

"Gih, sana," suruh Wikan.

Aku melihat ke arah rumah Shaka yang pintunya terbuka lebar. Ada Juna dan Eric sedang mengobrol di depan rumah.

"Gue pergi dulu, ya," kataku, sambil mengambil tasku yang digantung di motor Wikan.

Telunjuk Wikan mendorong keningku pelan. "Jaga diri baik-baik. Jangan aneh-aneh di sana."

"Iya-iya! Udah kayak Ibu deh lo." aku mencibir.

Wikan tergelak. Dia kembali menyalakan mesin motornya. "Gue duluan, Liv!"

Setelah motor Wikan menghilang dari pandanganku, aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam halaman rumah Shaka. Membuat Juna dan Eric yang menyadari kedatanganku, langsung melambai-lambaikan tangan mereka ramah.

"Dateng sama siapa?" tanya Juna berbasa-basi.

"Sama Wikan," jawabku.

Juna mendecak. "Kok gak bilang gue? Tau gitu kan sekalian bareng," ucapnya, yang disambut jitakan Eric di kepalanya.

"Punya temen sendiri, nyet. Jangan diembat juga." sepupu Regan itu memprotes.

"Dih, sok tau lu," kata Juna tidak terima. Dia kembali melihatku, "Emang lo pacaran sama Regan?"

Two of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang