23. Hampir ialah bagian dari tidak pernah

21 11 0
                                    

Seringnya, sesuatu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung kembali, dan sesuatu yang dicari tiba-tiba saja seolah nihil serta alfa—tiada. Begitulah manusia mempermainkan sugestinya lalu berdalih menyalahkan semesta.

Baik, aku tidak akan bicara banyak. Setelah hampir tiga tahun berada di bumi Bandung, pada pertengahan tahun ketiga kuliah, aku memutuskan untuk bergabung di UKM musik seperti yang diucapkan Alan sejak awal aku bertemu dengannya dulu. Laki-laki itu kudengar tengah dibuat sibuk oleh persiapan sidang skripsinya atau kemungkinan juga menyiapkan studi lanjut—sama seperti yang pernah ia katakan kepadaku sebelumnya. Intinya, ia tidak lagi aktif di UKM yang oleh karenanya kami jarang bertemu.

Sementara Finn akhir-akhir ini sering bergabung dalam pameran-pameran seni. Terlepas dari kesibukannya, ia terkadang masih mengunjungi galeri lukisan denganku—menjelajah bumi galeri seni sekaligus banyak kuliner di Bandung yang tidak jarang bagiku awam. Ia juga punya hobi baru, fotografi. Atau kalau terlalu berlebihan untuk disebut fotografi, ia hanya senang memotret apa saja.

Aku tidak terlalu pendiam sekarang. Bulan dan kedua temanku lainnya di Yogya pasti hampir tidak menemukan Rana tiga tahun lalu—yang kaku dan enggan bicara—dalam diriku saat ini. Aku tidak sepenuhnya berbeda, hanya saja tidak lagi kesulitan berinteraksi dengan orang baru, tidak lagi terlalu membenci keramaian, dan tidak lagi kesepian. Aku masih menyukai langit dari jendela kamarku, tentu saja. Duduk dan hanya terdiam mengamati hujan yang jatuh dengan seluruh kerinduannya terhadap udara. Menghabiskan hari di Rumah Singgah. Serta hanya berjalan di sepanjang Braga dengan Finn seperti biasanya.

Aku juga lebih dapat berbicara dengan Mama serta seisi rumah ini. Sosok perempuan yang hanya hadir dalam suara tak kasat mata sejak beberapa tahun yang lalu kini dapat kusaksikan nyata setiap hari. Sosok penuh kasih yang pada diriku hanya dikemas dalam bentuk kerinduan dan lengangnya udara, saat ini dapat berbicara denganku tanpa harus menumpuk satu potongan kerinduan kembali. Begitulah bagaimana aku mulai merapikan potongan-potongan diriku yang hancur dari satu dasawarsa sebelumnya. Begitulah bagaimana aku mulai menerima bahwa Ayah mungkin memang tidak akan pernah menemuiku lagi. Dan begitulah bagaimana aku tumbuh serta tidak lagi mempertanyakan banyak hal kepada semesta. Meski hanya dengan menyuguhkan langit pun, kurasa ia telah cukup baik terhadapku.

Bandung menjadi saksi penerimaanku terhadap seluruhnya yang tertinggal dari satu dasawarsa sebelumnya. Dan ternyata, hidup seperti ini rasanya cukup menyenangkan. Seolah-olah awan hitam dalam diriku tersapu habis serta mengudara bersama peralihan masa di penghujung tahun.

Ayah benar, seperti rajutan Mama dan hadiah arloji di hari ulang tahunku yang ketujuh, hal yang membuat sesuatu berharga bukan dari seberapa mahal ia dibayar dengan uang, melainkan oleh waktu karena ia tidak dapat berulang dan manusia karena ia seringkali tidak kembali.

Aku jadi ingat barang yang kubeli dari toko arloji di Braga seminggu yang lalu ketika menjelajah Braga dengan Finn seperti biasanya. Sebuah arloji berwarna perak yang rasa-rasanya akan pantas sekali dipasangkan pada tangan Mama.

Rama terlihat sibuk dengan lego mainannya ketika aku menuruni tangga. Di sebelahnya sebuah meja berisikan potongan pie buatan Mama yang tersisa separuh. Aku tersenyum, ia membuatku teringat dengan diriku satu dekade sebelumnya dengan berbagai boneka di seluruh penjuru kamar, persis dengan potongan kue buatan Mama di meja.

Aku mengacak lirih rambut laki-laki kecil di depanku, "Mama dimana?"

"Di kamar," ia balas menatapku.

"Kakak, Rama enggak habis," ia kemudian menyodorkan piring berisi potongan pie ke arahku, tersenyum lugu layaknya manusia berusia enam tahun lainnya.

Behind AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang