25. surat terakhir untuk kisah yang kali ini kupaksa selesai

11 9 0
                                    

Hal kedua yang tidak kurang ingin kutemui selain Ayah dari kedatanganku ke bumi Yogya ialah; rumah.

Pelatarannya terlihat berserakan. Dedaunan kering yang satu per satu layu ditelan udara, jatuh lalu beradu dengan rerumputan. Pagar rumah nampak berkarat di beberapa sisi, lengkap dengan bunyi deritnya yang semakin keras setelah dibiarkan terdiam selama tiga tahun kepergianku dari Yogya. Anak tangga dan lantai menuju pintu utama rumah tertutup debu hingga hampir berwarna cokelat dari ubin yang seharusnya putih mengkilap. Begitulah, di segala sisi pelataran tampaknya terlampau kacau.

Meski begitu, rumah ini tidak lebih asing dari Ayah yang kulihat sekian menit yang lalu.

Aku ingin melepaskan seluruhnya mulai hari ini. Menghapus kata 'selamanya' dari frasa 'seluruh memori sakral yang selama sekian lamanya berada dalam ruang tersendiri sehingga dapat selamanya bersemayam dalam ingatanku'. Namun lihat, di sisi pelataran ini aku dan Ayah saling mengeja berbagai rasi bintang pada malam ketika bulan menggenapkan purnamanya. Aku berebut rasi yang paling mudah dan kami berdua tertawa. Di sisi pelataran yang lain, ialah tempat Ayah biasa memainkan gitarnya lalu Mama tersenyum dengan senyumnya yang masih menjadi senyum paling indah buatku. Di sebalik pintu rumah ini apalagi. Potret Mama ketika merajut hingga nada marahnya serta pembelaan Ayah terhadapku, atau apa saja. Lihat bagaimana seluruhnya masih terlampau jelas dalam ingatan seorang perempuan belasan yang hari ini terpaku sebagai perempuan kecil berumur tujuh tahun yang kehilangan sosok 'rumah' bernama keluarga.

Bagaimana aku dapat menerima kalimat bahwa terkadang, ada hal-hal yang hanya pernah terjadi dan tidak untuk diulang kembali? Sedang perasaan dari bentuk kehilangan itu masih nyata dan kentara jelas bahkan setelah aku pikir akan ditelan oleh masa atau ditutup oleh jarak. Setelah seluruhnya, aku ternyata masih gadis berusia tujuh tahun yang terjebak dalam luka lama.

Aku tidak tahu apa yang tersisa dari diriku saat ini. Perasaan dibuang, lemah, ditinggalkan, kehilangan, atau apa saja yang tidak dapat kujelaskan, membuatku tidak berdaya untuk sekadar merasa pantas dicintai.

Maka oleh karena aku memulai seluruhnya dari rumah ini, aku memutuskan untuk mulai mengakhirinya hari ini, pun dari rumah ini.

Selama hampir setengah hari penuh kuhabiskan demi memisahkan seluruh bagian rumah dari debu, termasuk kamarku yang tidak jauh berbeda dengan beberapa lapis jaring laba-laba di sudutnya. Kaca-kaca jendela terlihat telah terlampau sering ditampar hujan, hingga kusam dan buram di balik teralisnya yang mulai dimakan usia.

Sebuah kotak kecil di lemari. Aku masih ingat, hadiah ulang tahun dari El.

Aku membukanya perlahan, berharap bahwa mungkin perasaanku telah sedikit lebih hambar terhadapnya sekarang.

Sebuah flashdisk berwarna putih.

Di sudut kotak, sebuah buku yang lebih dari separuhnya masih kosong. Ialah kertas-kertas yang biasanya kugunakan untuk menulis apapun tentang laki-laki itu dahulu.

Hai, El, apa kabar?

Sudah tiga tahun, ya? Dan mungkin ini akan jadi surat terakhir yang entah akan sampai atau tidak di tanganmu.

Aku ingin sekali lagi bilang terima kasih dan ini mungkin terlambat, terima kasih untuk hadiah ulang tahunnya tiga atau hampir empat tahun yang lalu. Baru sempat kubuka. Terima kasih surat virtualnya di flashdisk yang kamu kasih buat aku.

Malam itu aku melihatmu di konser musik dengan Amara, tepat setelah kamu tidak datang di hari janjian kita sebelumnya. Ah, aku tidak menyangka akan membicarakan hal ini lagi denganmu. Kamu sempat tanya alasannya aku memutuskan kita tidak lagi saling berkabar, kan? Entah apakah yang kulakukan sekarang ialah hal baik, tapi aku mengerti jika ditinggalkan tidak lebih menyakitkan daripada mengetahui bahwa kita tidak pantas mendapatkan jawaban. Maaf, El, ternyata aku perempuan kekanak-kanakan yang tidak pandai bicara.

Behind AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang