27. behind after

9 10 1
                                    

Ada angin yang setia berhembus diam-diam, berdansa tengah malam dengan ranting rapuh yang berayun pelan, hanya demi menunggu pengakhiran, sepertiku. Dan diantara pohon gersang yang jarang-jarang kulihat dari balik jendela kereta, yang mana yang harus aku ingat pagi nanti? Karena sekarang aku tidak tahu apa aku masih bisa menemukan kamu lagi. Mungkin aku terlampau jatuh, tapi terlalu ingin terlihat tidak pernah merindukanmu.

Aku tidak bisa tidur, setelah bahkan berjanji mengakhiri gelisah di penghujung stasiun, berjanji kalau semuanya akan selesai setelah sampai di bawah lentera-lentera kereta. Sekali lagi mungkin, aku terlampau tidak ingin berdamai dengan semesta, yang membuatku mengingatmu lekat-lekat, tapi seenaknya saja merebutmu cepat-cepat.

Aku membaca kalimat-kalimat awal dalam tulisanku asal. Ah, ia mengacaukan pikiranku kembali bahkan di hari tepat setelah aku memutuskan untuk pergi dari apa pun tentang kami.

Siang tadi, sehari setelah Finn menemukanku di Sindu Kusuma, aku mengunjungi Ayah. Ia bilang kondisinya sedikit membaik dari hari sebelumnya. Kami bercengkerama dan bahkan bertukar tawa. Aku memutuskan untuk memaafkan apa pun tentang masa lalu kami, menerima kenyataan bahwa Ayah ialah tetap ayahku meski dengan keluarganya sendiri. Ya, sudah tentu berat dan perih karena ternyata luka dalam diriku masih sama seperti satu dasawarsa sebelumnya. Ia hanya tertumpuk oleh waktu dan tak kunjung sembuh oleh karena tidak pernah kubiarkan terbuka.

Ayah bilang, ia sungguh selalu ingin bertemu denganku dan terus-terusan merasa buruk karena pergulatan dalam dirinya. Ia merasa bahwa mungkin kedatangannya tidak lebih baik daripada membiarkanku hidup tanpa kehadirannya kembali. Ia merasa buruk karena aku harus merasakan luka dan rasa sakit karena kehilangan 'rumah' dan sosok seorang ayah. Ialah kali pertama aku melihat Ayah menangis tepat di depan mataku. Sosok laki-laki kuat dan tidak banyak bicara yang ternyata ia juga seorang manusia yang dapat salah dan merasa gagal sebagai seorang ayah buatku.

Aku menghabiskan setengah hari menemani Ayah berada di ruang kamar rumah sakit dengan bau obat yang menyengat. Bercanda dan mengulas kenangan-kenangan kecil dengan Ayah, bermain sejenak dengan putri kembarnya, bercengkerama dengan seorang perempuan yang merupakan ibu dari putri kembar Ayah, dan lantas berpamitan untuk kembali ke Bandung. Entah kapan aku dapat menemui Ayah lagi, namun kami berjanji untuk saling berkabar dan Ayah bilang ia akan sering menghubungiku nanti. Ah, aku hanya dapat berharap kami berdua atau terlebih aku, dapat sedikit demi sedikit berdamai dengan luka dan diriku di masa lalu sampai hari ini.

Aku menyusuri koridor rumah sakit yang mulai lengang dan tepat pada ruang tunggu pengambilan obat, aku secara tidak sengaja beradu pandang dengan perempuan yang sungguh tidak akan pernah kuduga akan kutemui kembali, terlebih di tempat umum semacam ruang tunggu pengambilan obat di rumah sakit tempat ayahku dirawat. Aku meneruskan langkah, mengalihkan pandang.

Namun aneh, ia berdiri dan mendekat ke arahku, mengulurkan tangan, "Hai, Rana, kan?"

Aku sontak menatapnya asing, lantas menjabat tangannya seraya tersenyum canggung.

"Aku pernah dengar kamu dari El. Dia pernah bangga sekali memperkenalkan kamu ke aku meskipun hanya lewat foto." Ia tertawa kecil.

Aku kebingungan. Entah harus menjawab apa.

"Oh ya, kamu bisa panggil aku Amara. Mungkin dulu kamu enggak tahu aku atau mungkin juga tahu dari El, tapi aku tahu kamu kelas aksel. Jadi, anggap saja kita seumuran." Ia tersenyum teduh. Cantik sekali.

Tuhan. Dia bahkan tidak sadar pernah membuatku berada di fase krisis diri kronis dan kemudian mengakhiri hubunganku dengan El.

Aku hanya tersenyum dan seketika mati kata.

Behind AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang