Epilog

14 11 0
                                    

"Hai. Beberapa hari yang lalu aku membaca beberapa halaman terakhir dari buku harianku yang sudah mulai usang dan itu ditulis sekitar dua tahun yang lalu." Aku tertawa kecil.

"Tulisan itu tentang ketakutan, luka, harapan, hal-hal kontradiktif atau paradoks, ironi, dan bahkan komedi. Aku menuliskan itu—hal-hal yang mungkin dibilang terlalu subjektif atau emosional—ialah karena rasa-rasanya seiring semakin kita tumbuh dan dewasa, kita justru menjadi semakin perasa. Namun menyikapi sikap perasa, kita justru dihadapkan pada dunia yang sulit hanya untuk sekadar memberikan validasi, terlebih terhadap hal-hal tak kasat mata semacam kesedihan, air mata, atau luka. Benar, kan?"

"Pertama, ketakutan. Aku pernah membaca sebuah puisi yang berisikan ketakutan seorang gadis berusia tujuh tahun terhadap hewan kecil bercahaya bernama kunang-kunang oleh karena konon katanya, kunang-kunang ialah jelmaan dari mereka yang tertidur kaku di tanah pekuburan. Ya, mungkin ketakutannya bukan tentang kunang-kunang melainkan terhadap sebuah cerita mitos, namun intinya keduanya sama-sama nyata dalam visual atau bentuk suara. Adakah lagi ketakutan semacam itu di usia menjelang atau lewat dari kepala dua? Rasa-rasanya tidak. Ketakutan-ketakutan seiring kita tumbuh dan dewasa, ialah justru terhadap hal-hal tak terlihat, tidak nyata, atau bahkan belum pernah terjadi. Kekhawatiran terhadap masa selanjutnya sampai mungkin penyesalan yang masih tertinggal dari sebelumnya. Ketakutan terhadap harapan, ekspektasi, hal-hal yang mungkin saja akan berubah, pandangan orang-orang yang yang enggan atau memang tidak melihat dari berbagai sisi, ketakutan terhadap judgement atau penghakiman, kesalahan yang mungkin terjadi, pilihan yang mungkin salah, serta seluruh kalimat 'mungkin' dan 'seandainya' lainnya. Ketakutan-ketakutan itu tidak memandang waktu kapan akan datang, menuntut energi dan pikiran, dan bahkan semakin kesini, beberapa ketakutan itu justru menjadi kebiasaan."

"Lalu luka. Kita tahu bahwa luka tidak punya definisi tertentu untuk disebut luka. Sakit tidak punya indikator-indikator tertentu untuk dibilang sakit. Kesedihan dan penderitaan tidak menuntut hal logis untuk diberikan validasi. Sekecil dan sehening apapun, luka tetap luka. Kita tumbuh dan dewasa dalam lingkungan dan latar belakang yang berbeda, karakteristik pribadi yang berbeda, batas-batas yang berbeda, dan apapun. Kita bergelut dengan masalah dan trauma masing-masing sehingga kapasitas kita dalam menghadapi luka pun berbeda. Yang oleh karenanya, menganggap kecil luka orang lain menurutku ialah perilaku yang egois dan sungguh tidak sopan."

"Ketiga, hal-hal atau perasaan kontradiktif. Misalnya saja, bagi beberapa orang, keramaian hanya bentuk bising yang menambah kentara perasaan sepi. Atau, hal-hal ironi yang justru dibungkus dengan kalimat-kalimat komedi, seperti menertawakan luka atau semacamnya. Beberapa orang bahkan takut untuk sekadar merasakan bahagia oleh karena perasaan tidak pantas, ketakutan terhadap peralihan bahwa setelah bahagia pasti datang kesedihan, seperti halnya panas sepaket dengan hujan atau siang yang berpasangan dengan malam. Manusia-manusia ini seringkali berhenti tertawa oleh karena ketakutan yang tiba-tiba datang, ketakutan terhadap hal-hal yang belum pernah terjadi. Ia enggan menerima bahagia oleh karena tidak ingin perasaan mencekam setelahnya."

"Paragraf selanjutnya tentang ironi. Barangkali pembahasan pada paragraf ini akan disabotase oleh frasa ditinggalkan dan kehilangan. Kita benci keduanya. Merayakan kehilangan dengan perasaan sepi dan mencekam yang rasa-rasanya sungguh menyesakkan. Meninggalkan penyesalan-penyesalan yang menyebalkan. Tak kunjung mengudara. Bahkan ketika konon katanya penyelesaian dari kehilangan dan ditinggalkan ialah berwujud waktu, justru pada beberapa orang waktu hanya seakan menjadi bumerang oleh karena luka dan perasaan-perasaan tersebut ditinggalkan tersembunyi tanpa pernah dibiarkan sembuh."

"Lalu komedi. Ah, mungkin kalian pernah dengar bahwa semakin kita tumbuh dan dewasa, dunia rasa-rasanya semakin bercanda. Hidup ialah serangkaian peristiwa komedi yang pada akhirnya akan kita tertawakan. Hidup menuntut pertanggungjawaban dan intuisi. Kita tidak pernah diajarkan untuk membuat tujuan dari hal seluas kehidupan, atau bahkan sekadar arah menghadapi dunia. Ya, terlalu subjektif, dan tidak akan kita temukan di pelajaran Matematika atau Fisika. Luka tidak pantas untuk ditertawakan, namun pada suatu waktu, mungkin kita akan melihatnya kembali dalam bentuk komedi."

"Ketakutan, luka, trauma, kekhawatiran, ironi, dan perasaan-perasaan yang mungkin seringkali dikonotasikan negatif. Perasaan-perasaan yang mungkin saja melatarbelakangi munculnya kalimat bahwa manusia yang paling bahagia ialah ia yang hidup pada dan untuk hari ini, ia yang senantiasa berupaya berdamai dengan penyesalan dan trauma, serta dengan kekhawatiran terhadap masa selanjutnya. Tidak ada yang menyenangkan. Dan aku tidak bilang bahwa kita tidak boleh punya perasaan-perasaan semacam itu. Kita memiliki kodrat dan perasaan sewajarnya manusia. Ini bukan tentang menghilangkan perasaan-perasaan negatif, melainkan tentang bagaimana kita mengendalikan keseluruhan perasaan tersebut dengan energi positif yang kita miliki. Kebaikan hati, kasih sayang terhadap diri sendiri, memaafkan, dan kalimat-kalimat baik lainnya. Ya, memang acara berdamai paling sulit justru ialah berdamai dengan diri sendiri. Namun aku ingin kembali mengingat bahwa kita mungkin dan boleh saja dapat kehilangan apapun, namun tidak sepantasnya kehilangan diri sendiri."

"Kita wajar merasakan apapun sebagai manusia. Maka selayaknya pun sebagai manusia, kita selalu pantas untuk merasa dicintai."

"Dan teman-temanku di dunia suara, setelah kelulusanku dari universitas dan kepergianku dari Bandung beberapa bulan yang lalu, hari ini aku bertemu seseorang yang pernah membuatku merasa sungguh berharga atau sekadar ya, menjadi manusia yang merasa pantas dicintai. Aku tidak bilang cinta dalam tanda kutip seperti hubungan asmara atau semacamnya, tapi bisa juga diartikan seperti itu. Ini bisa berarti kasih sayang atau bahkan sekadar perasaan bersyukur terhadap Tuhan karena telah membuatku bertemu dengannya dan mungkin juga sebaliknya ia terhadapku."

"Dan, kalian tahu apa yang ia katakan pada kali pertama di pertemuan tidak terduga denganku setelah sekian lama kami tidak saling tahu kabar satu sama lain?" aku tertawa kecil.

"Aku akan ceritakan di pertemuan kita selanjutnya melalui suaraku yang mengudara seperti biasa. Mungkin dengan judul, 'frasa setelah semesta membuat kami saling pergi' atau 'he said he miss me badly'." Aku kembali tertawa singkat.

"Terimakasih sudah mendengarkan ceritaku hari ini, dan sampai jumpa di suarakuselanjutnya."

Behind AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang