8

808 210 25
                                    

Laci. Kunci. Laci. Kunci.

Hana merapalkan dua kata itu dalam kepala sembari tanganya merogoh laci meja Eliz, meraba-raba segala permukaan dan celah yang mungkin di sana. Akan tetapi, walau sudah dibantu senter dari ponsel, dia tidak menemukan apa-apa.

Ada kemungkinan kursi dan meja ini bukanlah  yang asli, mungkin pihak sekolah sudah menggantinya dengan yang baru, tetapi cerita horor yang terus menyelimuti pojok dan aksi meja dan kursi ini mengenyahkan dugaan itu. Ini membuat Hana berpikir kalau Eliz membuat bekas tempat duduknya berhantu untuk melindungi simpanannya.

Tidak menemukan apapun di dalam laci, Hana berpindah ke bawah meja, duduk di lantai dan mendongakkan kepalanya sampai pegal mencari celah antar kayu yang menjadi dasar laci meja. Hana mengernyit dan menjauh ketika matanya menangkap permen karet kering menempel di sudut pertemuan antara kaki kursi dan papan dasar laci. Dasar jorok.

Pantas saja menghantui, orang mejanya kotor begitu. Dia pasti marah sekali pada orang yang membuang permen karet di mejanya.

Mendecakkan lidah, Hana mengambil pulpen bekas yang tadi dibuat mainan oleh Pisara, lalu mulai mencongkel permen karet yang sudah mengering dan kaku itu. Ketika akhirnya permen itu berhasil dilepaskan, Hana mulai berpikir mungkin permen itu sengaja ditempelkan di sana oleh Eliz sendiri. Hampir tak terlihat kalau saja Hana tidak duduk di bawahnya, sebuah ujung besi pipih terbalut plastik, mengintip dari  celah sudut bawah laci yang tadi tertutupi permen karet.

Dari semua tempat yang bisa dijadikan untuk bersembunyi, Eliz benar-benar memilih tempat yang paling susah. Bukan paling susah ditemukan, melainkan paling susah untuk mengambil kembali barang yang disembunyikan itu. Kenapa harus diselipkan sangat dalam? Kenapa kepala kuncinya tidak tembus ke dalam laci? Sebenarnya menembus kemana kepala kunci itu?

Dengan kesal Hana melepaskan ikatan rambutnya yang sudah berantakkan lalu menggulungnya kembali di atas kepala. Jam sekolah sudah berakhir sekitar satu setengah jam yang lalu, anak-anak yang piket juga sudah pulang semua, jadi tinggal Hana sendirian di dalam kelas yang panas, dengan keringat bercucuran dan perasaan kesal mengutuk hantu dalam hati.

Ketika kuku ibu jarinya sobek menyusul kuku jari telunjuk, barulah otaknya akhirnya memberikan ide padanya untuk meminjam peralatan dari Mang Didit, pengurus dan penjaga sekolah. Hana menepok dahinya, kenapa hal itu tidak terpikirkannya sedari tadi?

Merangkak keluar dari kolong meja, Hana keluar kelas sembari meneriakkan nama Mang Didit.

***

Meneliti kunci yang akhirnya bisa dikeluarkan dengan bantuan tang buaya milik Mang Didit, Hana mengerutkan dahi, bertanya-tanya kira-kira itu kunci apa. Eliz tidak meninggalkan jejak yang menjelaskannya dan satu-satunya petunjuk pada kunci itu hanyalah empat digit nomer yang terukir di kepala kunci.

1013.

Ulang tahun Jimin.

Hana terkekeh.

"Kakak, kalau mau memberi petunjuk jangan 10%-10% begini, dong. Bikin malas, tahu?" gerutu Hana, diikuti decakan lidah sambil memasukkan kunci itu ke saku kemejanya.

"Hanabi?"

"Aaaaahhh!!!!"

Hana tidak berpikir akan ada orang yang datang, jadi ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya, gadis itu terkejut, berjingkat sampai kepalanya membentur meja.

"Eh. Eh. Kamu tidak apa-apa?" Seseorang  berjongkok, memeriksa keadaan Hana.

Akhirnya menyadari bahwa yang menyapanya bukan hantu, Hana menghela napas lega dan dengan lunglai, seperti kehabisan tenaga, kembali mendudukkan diri di lantai.

"Pak Lukman. Bikin kaget saja."

Pak Lukman tersenyum. "Sedang apa kamu di sini? Kenapa belum pulang?" Pak Lukman melihat ke sekeliling. "Apa sesuatu menarikmu ke bawah meja ini?" Ekpresinya berubah menjadi serius.

"Ah. Nggak. Saya suka rela ke sini sendiri. Menjadi relawan untuk mencari tahu kenapa kursi dan meja ini suka bergerak sendiri." Hana meraba-raba kaki meja dan kursi. "Mungkin seseorang memasang alat yang bisa digerakan dari jauh."

Pak Lukman tersenyum lagi. "Kalau semua orang berpikir dengan logika sepertimu, kelas ini nggak akan menjadi kelas angker." Pak Lukman mengulurkan tangan untuk membantu Hana keluar dari meja.

Hana menerima bantuan itu dengan canggung. Walau sifat alami Hana memang suka bercanda dan kadang terkesan tidak bisa serius, dia bahkan berani menggoda guru ganteng ini di depan kelas, tetapi dia tetap merasa kurang enak hanya berdua saja dengan guru ini. Yah, sebenarnya dia tidak pernah merasa enak jika hanya berdua saja dengan guru mana pun, terlebih guru yang memergokinya sedang melakukan kegiatan rahasia.

Hana menggendong ransel dan segera memeluk tas lesnya ketika menyadari kunci yang disimpannya di saku terlihat menonjol. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Selamat sore."

"Mau pulang barengkah?" Bersama, mereka melangkah keluar dari kelas. "Kebetulan saya mau ke rumah ibu, ada yang mau datang untuk membeli rumah."

Ini yang membuat Hana bisa menggoda Pak Lukman di depan kelas. Sebelum orang tua Pak Lukman meninggal, dia tinggal di komplek perumahan yang sama dengan Hana. Namun, hal yang sama juga menjadi alasan kenapa dia merasa canggung jika hanya berdua saja dengan guru muda itu. Hana paling benci dengan yang namanya gosip.

"Saya paling suka, sih, Pak sama yang namanya gratisan, tetapi sayang sekali kali ini saya harus menolak karena ada les." Hana mendecak. "Jadi orang bodoh itu menyusahkan sekali. Belajarnya harus super ekstra." Hana menghela napas dengan berlebihan untuk mendramatisasikan keluhannya.

"Hei, kamu selalu berada di lingkaran 10 besar, jangan merendahkan diri seperti itu."

"Sepuluh besar memang lebih rendah dari ranking satu, Pak." Menuruni anak tangga ke lantai satu, langkah Hana terhenti ketika melihat seseorang melangkah naik ke arahnya. "Lihat Biru, tuh, Pak. Yang selalu juara satu aja masih pergi les, apalagi saya yang hanya masuk sepuluh besar."

Namanya tiba-tiba disebut dengan nada seperti disalahkan, Biru berhenti di tempatnya, menatap Hana dengan dua alis terangkat. Hana membalas tatapan itu dengan senyum lebar lalu menuruni tangga dengan langkah ceria.

"Kok Biru balik lagi?"

"Ada yang ketinggalan di kelas." Biru melirik Pak Lukman. "Selamat sore, Pak."

"Asik. Aku numpang pergi bareng ke tempat les, yah?" Menelengkan kepala, Biru menatap Hana. Gadis itu mengabaikannya. "Kebetulan yang lucu, kan, Pak? Kami satu kelas, satu bangku, dan juga satu tempat les. Jangan-jangan kami akan menghabiskan masa tua bersama dalam satu rumah."

Wah. Wah. Bravo Hana. Kemajuan sekali kamu bisa menggoda Biru begitu.

Keringat dingin mengalir cepat menuruni punggung panas gadis itu ketika Pak Lukman hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum sebelum meninggalakan Hana berdua dengan Biru. Rasa malu atas ucapan menggoda tadi hampir membuat Hana ingin manarik Pak Lukman untuk kembali.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang