7

868 205 25
                                    

"Mungkin ... dia mau ngasih tau siapa pelakunya, Han," kata Ning di sela-sela mengunyah bubur ayam yang baru mereka beli.

Pagi buta, Ning datang ke rumah setelah Hana memberi tahu kejadian horor yang menimpanya. Sebenarnya anak itu hendak datang semalam, tetapi Hana melarangnya. Selain Hana tidak ingin bergadang, Feliko juga tidak ingin ada tamu. Suasana hatinya sedang buruk.

"Pelaku apa? Hasil penyelidikan sudah memastikan kalau itu pure bunuh diri." Hana menuang segelas susu untuk Ning dan segelas jus jeruk untuk dirinya sendiri.

"Tapi, kan, kita nggak tahu siapa yang menghamilinya. Mungkin dia meninggalkan petunjuk di novel itu dan pengen lo menemukannya."

Sebenernya dugaan itu sempat terbesit juga di kepalanya.

"Eh, tapi kenapa ke lo, yah? Kan ada tuh angkatan sebelumnya yang juga duduk di tempat duduk lo sekarang, kenapa dia malah menghantui lo?"

Pertanyaan itu juga semalam hinggap di kepalanya dan tanpa sadar dia melirik sosok Feliko yang tertidur pulas di tempat tidurnya.  Rasa bersalah membuat Hana bangkit dari tempat tidurnya di lantai dan memeluk kakaknya sembari menggumamkan kata maaf. Feliko yang merasa terganggu reflek memukul kepala adiknya.

Hana mengelus-elus kepalanya mengingat kejadian semalam. "Lo kebanyakan nonton film detektif, ah. Dan kita nggak perlu tahu siapa yang menghamilinya, itu bukan urusan kita."

Ning melemparkan tatapan seolah temannya itu tidak waras. "Memang bukan urusan kita, tapi kita perlu tahu, lah. Biar kita bisa menghindar dari orang bejat. Lo tuh, yah, suka kelewat cuek."

"Salahkan DNA."

Ning mendengkuskan tawa. "Eh, tapi, yah, coba deh lo baca novelnya. Siapa tahu memang dikasih tau identitasnya. Terus kasih, dah, tuh namanya ke orang tua Kak Eliz. Biar mereka yang usut dan ada closure, lah."

Hana memenuhi mulutnya dengan jus jeruk dan menahannya di sana sementara otaknya bekerja.

Kalau dipikir-pikir, tidak ada ruginya dia membaca novel entah sebuah nama ada di sana atau tidak. Jika memang sebuah atau lebih dari satu nama ada di sana, dia akan melakukan seperti yang diusulkan Ning, memberikannya pada orang tua Eliz. Syukur-syukur yang ada di sana bukan nama kakaknya.

Selesai makan, mereka berdua pergi ke kamar Hana, yang keadaannya masih sama seperti saat semalam dia tinggal. Hana segera membuka tirai dan jendela untuk menambah penerangan kamar walau lampunya sudah menyala terang. Ning memungut Atheis dari lantai dan menyerahkannya pada Hana. Sambil menerim, dengan takjub Hana memandang temannya yang tidak terlihat ketakutan sama-sekali.

Pertama kali membuka novel itu, mereka berdua mengernyit. Novel yang menyebabkan kehororan itu ternyata sebuah novel bajakan, menggunakan kertas berwarna abu-abu yang terlalu gelap, tipis, dan cetakan tulisannya tidak rapi, tulisan-tulisan itu memiliki bayangan dan ada pula yang berganda.

"Ya ampun. Emang berapa, sih, harga novel aslinya sampai harus beli yang bajakan, jelek, dan macam novel stensilan kayak gini?"

Ning tertawa. "Nah, sepertinya lo udah nggak takut, udah bisa ngejek orang yang udah mati."

Hana terkesiap, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya dengan takut-takut. "Maap, Kak Eliz, aku keceplosan."

Ning tertawa lagi. "Ya, udah, gue pergi dulu, yah. Mau halan-halan. Selamat membaca."

Sebenarnya Hana tidak rela Ning pergi. Anak itu yang menyarankannya membaca, kenapa dia meninggalkannya pergi? Walau begitu dia tetap mengibaskan tangannya ke arah pintu. Ning tersenyum. Setelah mencium pipi Hana, dia pun pergi.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang