14

998 226 22
                                    

Hana tidak bisa menemukannya. Tidak peduli sudah berapa kali dia membongkar dan membolak-balikkan tasnya, dia tidak bisa menemukan surat Eliz bernomor 1. Tadi siang masih ada, dia ingat betul memasukannya ke dalam tas, bahkan Biru bisa menjadi saksinya. Tapi kenapa saat dia akan menyimpannya lagi surat itu sudah tidak ada?

Itulah alasan kenapa masih jam enam pagi namun, dia sudah di sekolah. Merangkak di lantai kelas untuk mencari surat itu dan sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Semalam dia baru menyadari kalau surat itu tidak ada, dan saat itu sudah hampir tengah malam, jadi tidak mungkin dia kembali ke sekolah hanya untuk mencari benda yang mungkin tidak jatuh di sana. Mungkin jatuh di tempat les, waktu dia mengambil dompet pensil? Mana tidak ada nama sama sekali di surat itu kecuali nama Feliko, dan kakaknya itu bukan artis yang membuatnya dikenal banyak orang, kalau pun surat itu ditemukan orang, kemungkinan besar Hana tidak akan mendapatkannya kembali.

Hana menggaruk kepalanya kesal. Baru juga senang sebentar habis kencan sama Biru, eh, malah langsung tertimpa kesialan. Yah, walau kencan kemarin tidak bisa dibilang sukses 100%, Biru sering melamun sambil memandang ke luar jendela, tapi setidaknya kencan itu diakhiri dengan pegangan tangan.

Takut ikut hilang juga, Hana segera mengambil surat bernomor 2 di tas slempang kecil yang  dibawanya ke cafe lalu meletakkannya di dalam kotak sepatu bersama surat-surat yang lain dan juga ponsel Eliz. Hana belum bisa membuka kode ponsel itu, Eliz bilang dia harus membaca suratnya sampai tuntus untuk menemukan pattern yang digunakan gadis itu untuk membuka kunci ponselnya.

Kali ini dia tidak membawa apapun ke sekolah, takut hilang lagi. Beruntung surat pertama hanya ada pernyataan cinta pada Feliko, tidak seperti surat kedua yang mulai menakutkan.

"Lo lagi ngapin, Han?"

"Aaah!!"

Hana tersentak dan kepalanya terbentur meja lagi. Rasanya seperti deja vu. Bedanya, kemarin dia mendengar suara khawatir Pak Lukman, kali ini dia mendengar suara gelak tawa Pisara.

Hana menghembuskan napas lega lalu melemparkan tatapan kesal pada cowok yang masih tertawa itu. "Pisang rese!"

"Lagian lo ngapain jadi kucing pagi-pagi?"

"Nyari sesuatu."

"Nyari apa? Siapa tahu ada yang nendang sampai meja depan terus gue liat?"

Hana mengirimkan tatapan mata skeptis pada Pisara, walau begitu dia tetap mengatakannya. "Surat."

Tiba-tiba Pisara terlihat antusias. "Surat buat Biru? Kalau gue nemuin gue boleh baca, yah? Biru terkesan sama surat cinta lo yang pertama itu. Gue jadi penasaran tapi ngga boleh liat sama dia. Gue boleh ngintip yang ini, yah?"

Hana menghela napas. Dia jadi teringat tentang apa yang Biru katakan semalam. Katanya dia lebih suka surat Hana yang pertama, lebih dalam dan lucu, tapi dia tetap menghargai keterusterangan surat kedua cewek itu.

Yah, setidaknya Hana bisa menyalahkan suratnya kalau memang dia ditolak lagi sama Biru.

"Bukan, bukan surat buat Biru, tapi sama pentingnya."

Pisata mendecak. "Nggak asik."

"Ya udah nggak usah bantu!"

Pisara sudah melepaskan jaketnya. "Seperti apa rupanya?"

"Amplop coklat ada tulisan angka 1 di depan amplopnya."

Pisara mematung. "Amplop coklat, like coklat susu kopi atau coklat hitam."

"Coklat macam cokelat Silver Queen."

"Lah, gue taro di tasnya Biru."

"Apa?!" Hana bangun dari tempatnya di lantai. "Kenapa lo ngelakuin itu?!"

"Ya, karena gue kira itu surat buat Biru. Katanya lo mau ngasih surat lagi, jadi dari pada kejadian dulu terulang lagi, lo ngulur waktu buat nyatain cinta terus keduluan sama Anggi, ya udah gue bantuin lo ngasih tuh surat ke Biru." Sepuluh langkah mundur sudah diambil Pisara ketika dia selesai mengatakan maksud baik hatinya, ketakutan dengan reaksi Hana yang akan dilampiaskan padanya.

"Ih! Pisara bego! Ada di tas gue bukan berarti milik gue semua."

Pisara berhenti di depan pintu. "Bukan punya lo?" Hana menggeleng. "Ya udah, sih, berarti lo nggak usah khawatir. Kalau pun isinya bikin malu seribu tahun, seenggaknya bukan lo yang malu." Pisara tertawa.

Hana tidak mendengarkan ocehan temannya, pikirannya sibuk mencari jalan agar tidak ada yang bertanya surat itu milik siapa.

"Piss, do me a favor. Jangan bilang ke Biru kalau surat itu lo ambil dari tas gue. Kalau Biru nggak ngungkit, lo jangan bahas duluan."

"Kenapa?"

Hana mencopot salah satu sepatunya lalu mengajungkannya ke udara, siap melemparkannya ke cowok itu.

"Oke. Oke. Jadi lo utang ke gue."

Hana mendengkus. "Salah. Itu adalah cara lo bayar utang ke gue, ogeb."

Pisara mendecak, tapi tidak protes.

***

Orang tuaku bercerai. Aku tahu mereka sudah bercerai walau masih tinggal dalam satu rumah. Aku nggak sengaja mendengar pertengkaran mereka yang membahas harta gono-gini dan dengan siapa aku harus hidup. Patah hatiku yang ke sekian: mereka berebut untuk terbebas dariku.

Sebenarnya aku nggak terlalu kaget mereka akhirnya pisah, hubungan mereka sudah hancur sejak kehadiran adikku. Yang aku kagetkan adalah betapa takutnya mereka jika aku membebani hidup mereka walau sudah terpisah.

Kamu tau Big Ben, jam besar ikon Inggris itu?

Kadang aku merasa seperti Big Ben. Berdiri tegak di tengan kerumunan orang, menjadi ikon dan dikagumi banyak orang, tapi kalau dilihat baik-baik aku berdiri menjulang sendiri, keramaian yang mengelilingi sering terasa dingin.

Feliko mengatakan alasannya putus dari Dita. Katanya dia menyukaiku.

Harusnya aku senang, iya, kan? Cowok yang aku sukai juga menyukaiku. Tapi yang aku bayangkan adalah bagaimana kalau aku berada di posisi Dita. Kenyataan bahwa secara nggak langsung aku juga membuat sebuah hubungan hancur sama sekali nggak membuatku bangga.

Feliko bilang udah lama dia menyukaiku. Udah lama tapi dia nggak melakukan apapun karena menurutnya aku nggak selevel sama dia.

Hiks. Hiks.

Aku selalu berjuang untuk menjadi nomer satu, tetapi orang yang aku sayangi selalu menempatkanku di nomor sekian.

Seperti Big Ben, berdentang sendiri, menarik perhatian orang, lalu kembali tak diacuhkan saat dentang itu berhenti.


Oh-oh. Sepertinya ada yang salah tangkap. Hana yakin sekali bukan begitu maksud kakaknya saat mengatakan Eliz tidak selevel dengannya. Feliko, walau memang tampan dan dikagumi sebagai pemain basket hebat, tapi dia selalu minder dengan cara kerja otaknya yang selalu kesulitan mencerna semua mata pelajaran yang diterimanya di sekolah. Kalau Eliz selalu peringkat satu, Feliko bisa berada di peringkat satu dari bawah. Dan kalau Hana ingat bagaimana aura yang selalu mengelilingi Eliz saat masih hidup, dia sendiri akan segan untuk mendekati cewek itu.

Mungkin terlalu banyak hal yang mengisi kepalaku sampai aku nggak bisa berpikir, sore itu, saat aku sedang belajar di ruang kesehatan, Pak Lukman datang dan aku nggak lari darinya. Aku nggak tahu dia ngoceh apa sambil mengusap punggung dan leherku, pikiranku kosong, lalu tahu-tahu saja bibirnya sudah menangkap bibirku. Aku bahkan masih tidak bergerak saat tangannya mulai menjelajah di dadaku.

Inilah awal mula kehancuran itu.

Hana memeluk surat itu dengan erat. Sudah tahap ini, Hana rasa dia otomatis akan lari dari Pak Lukman saat melihatnya di sekolah nanti. Dia beruntung tadi pagi tidak ada pelajaran guru itu.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang