And there he comes, the lost souL

1K 127 10
                                    

Teringat saya pada suatu malam, ketika hujan dan salju nggak lekas datang meski sudah bilang pada peramal cuaca bahwa keduanya bakal bertamu.

Tetapi, malamnya gelap, lebih gelap daripada malam-malam sebelumnya. Sebabnya adalah awan. Saya melihat awan yang bergumul-gumul, menggulung menjadi satu, tutupi cahaya bulan yang sama sekali nggak saya rindukan. Saya melihatnya lewat jendela saya yang nggak pernah dibuka. Lalu, ada pula suara angin yang bersiul dengan cara meniup sela-sela penghuni pohon. Daun dan ranting, maksudnya. Bukan hantu.

Pada malam yang sama, Choi Beomgyu datang. Dia mengirim pesan lewat kartu pos yang dititipkannya pada pengantar susu pagi-pagi sekali, tulisnya: Turunlah ketika matahari sudah tenggelam selama satu jam. Pada saat itu, aku sudah di depan rumahmu. Dan disusul satu pesan kecil di bagian bawah: P.s. Jangan lupa bawa jaket tudung yang tebal.

Rambutnya yang ditutupi tudung jaket abu-abu tua yang kumal, mengambil alih perhatian saya ketika sudah berdiri di depannya. Beomgyu sedang mengubur tangannya pada saku jaket kanan-kiri tatkala saya mengunci pintu rumah yang kini sepi. Napasnya dan napas saya beruap seperti naga, tetapi bukan karena panasnya, melainkan dinginnya udara. Temperatur jatuh pada angka tiga, lebih hangat dibanding kemarin malam, tetapi tetap terasa menyesakkan.

Kunci yang saya genggam, berhasil lolos dari lubangnya. Saya segera memasukkannya pada tas selempang kecil saya yang hanya dapat memuat benda-benda kecil (koin, sedikit gulungan Euro, dan kunci rumah). Lalu, Beomgyu lekas menangkap tangan saya dan menariknya.

Saya tanya, "Mau ke mana? Hei, kita bahkan belum bicara sejak tadi." Mulut saya dipenuhi udara dingin ketika bicara dan napas saya tersendat-sendat. Kami berlari dan berlalu. Pada pinggir jalan, kaki kami melaju.

"Kita akan pergi ke Musee Ferroviare," kata Beomgyu, masih menarik tangan saya. Dia berjalan di depan, memimpin jalur kami yang sepi. Lampu-lampu pinggir jalan berjarak jauh-jauhan, sehingga terkadang, saya bahkan nggak bisa melihat sosok Beomgyu yang menggenggam tangan saya di dalam saku jaketnya.

"Ini, 'kan, sudah malam?" Saya bertanya, setengah berteriak. Lalu, saya menutup mulut dengan tangan kanan saya yang sebelumnya menggantung, bukan karena udara dingin yang menerobos masuk, tetapi mengingat bahwa kami kala itu tengah menerobos heningnya malam. "Museumnya sudah tutup sejak tiga setengah jam yang lalu," kata saya, kali ini setengah berbisik.

Saya melihat kepala Beomgyu menggeleng dan mengangguk sepersekon kemudian. Wajahnya masih menghadap ke depan dan kakinya membelah jalan dengan lekas saat dia menjawab, "Memang sudah tutup. Namun, itu bukan berarti kita nggak bisa masuk, 'kan?"

Saya hendak membalas ucapan Beomgyu ketika dia tiba-tiba berhenti berjalan, menghentikan langkah kaki saya. Di tengah gelapnya malam yang nyaris hujan dan bersalju, di bawah sebuah tiang lampu yang paling redup di antara yang lain, pula di tengah kesepian yang memeluk dingin kami berdua, Beomgyu menatap saya lamat-lamat.

"Ayo centang harapan terakhir di bucket list kita."[]

Saya jarang beri note, but here it is

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya jarang beri note, but here it is. Hm. Sudah saya beri tanda [ ] (yang biasanya saya pakai untuk programming) untuk menunjukkan akhir chapter. Ah, iya. Foto ini saya ambil dari pinterest. Kelihatan ayu, makanya saya jadikan border. A, ja, helfen Sie mir bei der Überarbeitung, bitte. Saya nggak hobi cek dua kali.

GRÄBERFELDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang