And there we came, the night cafE

500 103 25
                                    

Petugas keamanan museum ... nggak terlihat sejauh mata memandang.

Saya tahu kalau Beomgyu bisa saja bernegosiasi dengan pekerja di sini supaya bisa menyelinap malam-malam tanpa perlu merasa canggung ketika tertangkap mata mereka. Tapi, saya nggak tahu apa yang dibayarkannya pada mereka agar dapat masuk ke sini dengan lancar.

"Kamu membayar tur malam ini seharga apa?" Saya menatap sisi wajah Beomgyu yang sejujurnya nggak begitu kelihatan. "Cepat jawab," bisik saya lagi.

Beomgyu masih menggenggam tangan saya di dalam saku jaketnya. Barangkali berharap supaya kami berdua nggak kehilangan kalor. Kami berjalan beriring-iringan, sedikit mengendap-endap di antara lorong-lorong remang.

"Nggak. Aku nggak membayar sama sekali, kok. Kita bakal jadi kriminal." Beomgyu cengengesan. "Lihat lukisannya," bisiknya, tetapi menggema.

Saya melirik lukisan yang sejujurnya nggak begitu terlihat akibat temaramnya lorong. Justru, saya menatap Beomgyu lamat-lamat, mengalahkan kegelapan malam ketika saya berhasil menangkap pupil matanya yang mengilat. Saya bilang, "Bicara yang serius, Gyu. Kita sedang apa di sini?" Saya menarik napas panjang. "Hei, cepat jawab."

Saya mendengar kekehan Beomgyu.

"Kamu bahkan nggak membiarkanku untuk menjawab. Kita sedang melihat-lihat; kita berziarah." Telunjuk Beomgyu, meski hanya terlihat bagian kukunya saja, terlihat menunjuk salah satu lukisan dari semua lukisan yang berderet di lorong ini.

Saya nggak punya kuriositas sama sekali, maka mata saya nggak mengikuti ke mana telunjuk itu menunjuk. Mata saya malah terpaku pada Beomgyu yang kala itu tudungnya sudah nyaris jatuh dari kepala. Hampir saja tangan saya menangkapnya, tetapi Beomgyu sudah lebih dulu meremas tudung jaketnya dengan tangan kiri. Lalu, dia memahkotakannya lagi pada kepalanya.

"Ayo jalan lagi." Tangan Beomgyu mengeratkan pegangannya pada milik saya.

Kami nggak membawa senter, apalagi persiapan kalau saja tiba-tiba kami tertangkap tengah menyelinap ke museum malam-malam. Kami cuma membawa masing-masing, buku bucket list Beomgyu, dan sebatang pensil untuk mencentang harapannya. Kami cuma melewati lorong temaram dengan diam, mengangkat kaki pelan-pelan.

Kami berjalan, hingga pada sekon kesekian, Beomgyu menghentikan langkah kakinya, menghadap ke Utara. Satu tangannya menggenggam tangan saya erat, menguburnya dalam saku jaketnya. Dia menatap titik itu lama. Saya jadi menoleh dibuatnya.

"Hei, lihat tidak? Itu makamku," kata Beomgyu sambil menunjuk lukisan Kafe Malam-nya Van Gogh.

Saya menyipitkan mata. "Bicara omong kosong lagi, bakal kukubur hayatmu."

Meski nggak bisa melihatnya dengan jelas lewat sudut mata saya, saya tahu bahwa Beomgyu berangguk-angguk.

"Itu tempatku berada. Sekarang. Maksudku, dalam fase sekarang. Aku ada di antara perpaduan hijau dan merah. Ketidakseimbangan." Beomgyu sepertinya memaku atensi pada lukisan itu.

Saya belum sempat membuka suara, tetapi Beomgyu lebih dulu membuka miliknya. Katanya, "Suatu saat, aku akan ada di sana. Aku akan dimakamkan dan hidup di memorimu saja. Sekarang aku hidup, tetapi mati. Tujuan-tujuan hidupku sekarang ditulis dalam satu carik kertas saja."

"Apa maumu?" Saya sudah bersiap untuk meloloskan diri dari genggaman Beomgyu.

"Mauku? Menjadi astronot."

Saya melirik ke sekitar, tetapi hanya mendapati cahaya paling minimal. "Hei, jangan tertawa. Sinting!" Tangan saya menepuk bahunya pelan.

Beomgyu tersenyum. Saya bisa melihatnya, sebab sedikit cahaya yang masuk dari jendela kecil di sana, terpantul ke putihnya baju pemilik kafe di lukisan, dan jadi bintang kecil di sudut bibir Beomgyu yang terangkat.

"Aku bakal mencurinya," tukas saya.

Beomgyu berhenti tersenyum. "Apanya?"

"Makammu."[]

"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
GRÄBERFELDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang