"Jalan yang kau tempuh saat ini, adalah atas kehendak Tuhan. Lalui dan bertahanlah hingga garis akhir itu terlihat."
"Dasar anak orang gila!"
"Hahahaa... bapaknya orang gila...."
"Orang gila... orang gila...."
"Kasihan deh, bapaknya orang gila, mamanya menghilang entah kemana...."
Aku melangkah dan tertunduk dengan kedua tangan meremas kuat tali ranselku. Ejekan demi ejekan diluncurkan padaku sepanjang jalan menuju kelas. Namaku adalah Andin. Tetapi mereka menjuluki ku si anak orang gila, karena aku mempunyai seorang Ayah yang tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Satu kampung bahkan satu sekolah kerap mencibir serta mengolok-olokku apabila aku menunjukkan diri di hadapan mereka, seperti saat ini. Sebagai anak yang bahkan tak punya kekuatan untuk menegakkan kepala, aku hanya bisa menangis meratapi nasibku yang berbeda dari anak lainnya.
"Heh! Masih sanggup ya kau datang ke sekolah?" Nadin dan kawan-kawannya mencegat langkahku.
"Maaf, aku mau lewat," ucapku pelan dengan wajah tertunduk.
"Wah ... sudah makin berani sekarang, ya." Nadin merasa kesal atas ucapanku dan mengisyaratkan kepada teman se-gengnya untuk menahan kedua tanganku.
Aku terkejut. Namun, apa daya mereka jauh lebih kuat dariku.
"Din, jangan. Aku ke sekolah ini mau belajar, tolong jangan-" Belum selesai aku bicara, segelas jus jeruk telah membasahi rambut serta bajuku. Ya, Nadin baru saja menuangkannya.
Mereka tertawa puas. Beberapa siswa lain juga tampak bahagia menonton pertunjukan gratis ini. Mereka kemudian melepas tanganku dan mendorongku hingga terjatuh ke tanah.
"Itu balasannya karena kau berani melawan kami, dasar anak orang gila!" pekik Nadin sambil terbahak dengan kawanannya.
Bersama air mata yang nyaris menetes, aku menatap Nadin lekat.
"Kenapa kau sangat membenciku?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Ya, karena kau anak orang gila," jawabnya polos sambil tersenyum menghinaku.
Kulihat sekelilingku yang semakin ramai. Mereka tertawa di atas penderitaanku. Kudengar ada seorang anak laki-laki yang mengejekku, "Orang gila, bapaknya orang gila!" teriaknya kuat. Segera yang lain kembali menyusul, mengolok-olokku. Lagi.
Sekuat tenaga aku berdiri dan berlari sekencang mungkin. Aku tak ingin sekolah hari ini. Akhirnya tangisku pecah diiringi tawa puas anak-anak yang semakin jauh semakin tak terdengar oleh telingaku.
"Ya, Tuhan, kenapa Engkau membiarkanku merasakan ini semua? Aku tak sanggup, Tuhan. Ini terlalu berat untuk dihadapi," jeritku dalam hati sambil terus berlari dengan berlinang air mata serta rambut dan seragam yang beraroma jeruk.
Siapa yang ingin hidup dengan kondisi Ayah yang dirawat di RSJ serta tanpa seorang Ibu? Tidak ada, begitu pun aku. Tetapi, apabila memang harus begitu, apakah harus diperlakukan tidak layak seperti ini? Apa karena keadaanku yang seperti ini, aku tak pantas hidup sebagai manusia? Rasanya, aku ingin mati saja.
Perlahan, langkahku melambat. Kini aku tiba di sebuah sungai yang konon katanya memiliki seekor buaya di dalamnya. Aku terduduk di rerumputan dekat dengan tepi sungai. Di situ, aku menangis sejadi-jadinya. Sudah 17 tahun sejak aku terlahir, namun belum pernah sekalipun aku merasakan seperti apa itu bahagia.
Kupandangi lengan serta pergelangan tanganku yang penuh dengan bekas goresan pisau. Benar, aku melukai tubuhku. Berharap dengan begitu aku bisa mengurangi luka batinku. Namun, tindakan itu ternyata malah memperburuk segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Berkisah
Storie brevi"Beribu kisah tertuang dalam cerita." Antologi cerpen dengan tema 'good ending' oleh Purple Class. Penulis: 1. Bintang Immanuella 2. Sania Oktavia 3. Meylani Dewi Lestari 4. Mutiara Aprilya La Eba Pasaribu 5. Nazla Aprilia -Happy Reading-