Apa yang Terjadi?

6 1 0
                                    

Hohoho ... jangan lupa vote!

Rania POV

Napasku tercekat. Pandanganku menggelap. Seketika rasa sakit tiada tara menghampiriku. Dadaku terasa meledak dan seluruh tulang-tulangku remuk. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Ya Tuhan, cobaan macam apa ini?

Ketika rasa sakit mulai berkurang, aku mulai membuka mata, namun tak ada yang terlihat karena buramnya pengelihatanku. Rasa sakit kembali menghampiri. Aku kembali menutup mata dan tak sadarkan diri.

Perlahan-lahan kesadaranku kembali. Aku mulai membuka mata. Abu-abu, semua yang ada di sekitarku berwarna abu-abu. Di depanku, ada seorang wanita paruh baya sedang melipat baju. Aku mulai berteriak ke arahnya. Aneh, apa yang terjadi dengan suaraku?

Lalu wanita tadi mendekat dan ... menggendongku? Aku bingung dengan situasi yang terjadi. Lalu aku mulai menggerakkan tanganku, tangan-tangan mungil yang mengikuti sesuai keinginanku.

Apa yang sedang terjadi? Apakah aku terlahir kembali? Sungguh sulit dipercaya!

"Putri lapar ya? Sebentar saya ambilkan susunya," kata wanita itu.

Wanita itu mengambil mangkuk berisi susu kemudian ia coba dulu, baru menyuapiku dengan sendok. Aku membuka mulut karena aku memang lapar, benar-benar lapar. Kenapa dia tidak menyusuiku langsung? Apa itu berarti, dia bukan ibuku? Lantas dimana ibuku?

'Tok tok tok'

"Masuk!" perintah wanita itu.

"Nila, ini sudah waktunya pemakaman." Laki-laki berusia sekitar 30 tahun yang memakai pakaian serba ... putih itu memasuki kamar. Aku tidak tahu warna yang sebenarnya dia pakai karena semua yang kulihat hanya hitam dan putih.

"Sebentar, putri baru saja bangun dan kelaparan." Wanita bernama Nila masih menyuapiku susu.

"Cepatlah, aku tidak bisa meninggalkan pangeranku lama-lama," gerutu laki-laki tadi .

"Sabarlah Jenar, putri masih lapar. Atau kau pergi saja dulu," kata Nila.

Bentar, jadi laki-laki itu bernama Jenar? Jenar? Seperti nama wanita saja.

"Apa yang membuatmu tertawa putri?" kata Nila kepadaku sambil tersenyum.

"Sudahlah, aku pergi dulu. Nanti kau cepat menyusul," kata Jenar. Jenar melangkahkan kakinya keluar kamar.

Jujur, aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Apa aku hanya bermimpi dan berhalusinasi? Tapi ini terasa amat nyata. Apa ragaku telah mati dan rohku terlempar ke tempat asing ini? Namun yang jelas, aku bersyukur diberi kesempatan kedua dan sepertinya, aku seorang putri disini, bukan rakyat jelata.

Setelah susuku habis, aku dibawa keluar oleh Nila. Semakin menyusuri lorong, semakin banyak orang berlalu-lalang. Pakaian mereka sederhana. Beberapa perempuan berpakaian seperti kebaya, dan lainnya memakai kemben sedada. Sedang laki-lakinya, sebagian berpakaian seperti ... entahlah aku tak tau namanya, sejenis pakaian jawa untuk pria mungkin. Namun sebagian yang lain hanya memakai pakaian tanpa lengan.

Aku dan Nila sampai di tanah lapang. Di sana banyak sekali orang-orang berpakaian putih. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka semua menangis, tak terkecuali Nila. Mungkinkah ini acara pemakaman ibuku? Ketika ritual-ritual terus berlangsung, aku hanya bisa menatap langit. Entah mengapa air mataku keluar dengan sendirinya. Aku mulai menangis yang kemudian ditenangkan oleh Nila. Aku baru saja lahir di dunia asing ini, namun ibuku di sini telah tiada.

Nasib apa ini yang membuatku tak pernah merasakan cinta ibu?

Ah, aku tiba-tiba rindu ibuku yang di sana. Wait, mengapa aku bisa merindukan ibu yang terus menyiksaku? Ibu yang rutin tanpa melewatkan satu haripun memberi luka lebam sekaligus luka hati, ibu yang selalu menyalahkanku dalam segala keadaan, ibu yang sangat amat kubenci.

Derita anak sulung perempuan ini, tak boleh terulang di dunia ini, titik.

Nila dan orang-orang di sekitarku mulai berjalan beriringan yang entah aku tak tahu akan pergi kemana. Setelah lama berjalan, kami tiba di bukit. Akhirnya posisi gendonganku berubah. Aku melihat sesuatu dimasukkan ke dalam tanah. Ibu?

Orang-orang semakin menangis tatkala lubang itu mulai ditimbun dengan tanah. Nila memelukku kuat. Kemudian dilakukan beberapa ritual lagi. Entahlah apa yang pria tua berjanggut itu lakukan dengan melafalkan bahasa yang tak kumengerti. Setelah itu kami kembali ke ... istana?

Aku belum mengerti banyak dunia ini sehingga aku sering meragukan pikiran-pikiranku.

"Ziya," panggil seorang anak laki-laki yang memegang kakiku. Nila berhenti berjalan. Aku menatap anak laki-laki itu. Wajahnya nampak menawan.

"Uwahhh, bibit unggul," pikirku sambil tertawa.

"Kamu suka?" tanyanya tersenyum sambil memainkan kakiku. Namun sorot matanya belum mampu menyembunyikan seluruh kesedihannya. Lihat, matanya saja masih sembab yang membuat ketampanannya berkurang.

"Ziya?" Nila bertanya.

"Aku telah mengusulkan nama pada ayah untuk adik laki-lakiku ini, dan dia bilang terserah padaku." Anak laki-laki itu kembali tersenyum, Nila ikut tersenyum.

Laki-laki? Bukankah aku seorang putri?

"Maafkan hamba Pangeran Ekata, namun adik anda yang satu ini tidak memiliki burung seperti saudara anda yang lain. Dia seorang putri." Nila tersenyum menahan tawa.

"Bernarkah?" Mata Pangeran Ekata melebar.

"Iya. Tetapi saya pikir, nama Ziya juga sangat cantik untuk putri. Terima kasih Pangeran Ekata," ujar Nila membungkuk yang dibalas senyum Pangeran Ekata.

"Apakah berarti kami tidak bisa mandi bersama?" tanyanya yang dibalas gelengan oleh Nila.

Mandi bersama? Ahhh ... aku mau pangeran! Aku coba mengucapkan kalimat-kalimat tersebut namun ketika keluar dari mulutku hanya seperti ocehan bayi belaka. Pangeran Ekata tersenyum lebar melihatku mengoceh.

"Dimana Janu?" tanya Pangeran Ekata pada pria dibelakangnya. Tangannya pada kakiku mulai dilepas.

"Mungkin sudah sampai di istana karena tadi ia pergi lebih dulu," jawab pria itu.

"Aku harus memberi pelajaran padanya karena berani berbohong." Pangeran Ekata terlihat marah dengan wajah yang imut.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Jaga adikku," katanya pada Maya.

"Ayo Seta!" ajak Pangeran Ekata pada pria dibelakangnya.

Aku dan Maya melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah kamar.

"Ziya, Putri Ziya, apa kau suka?" Nila mengajakku berbicara dengan posisi aku telah di kasur.

Aku hanya tersenyum, aku suka. Mulai sekarang, namaku Ziya. Maya tersenyum lebar. Kemudian dia terus mengajakku bicara hingga tak sadar aku telah tertidur.

Hari-hari terus berlalu. Tempat yang kulihat mulai memiliki warna. Aku sudah bisa berguling dari posisi tengkurap ke telentang, dan sebaliknya. Oh, jangan lupa, aku sudah pandai memanggil Nila dengan kata Ni-ni. Mungkin usiaku sekarang sekitar dua setengah bulan. Dan aku, ingin cepat bisa melakukan apapun.

Setiap hari aku belajar mengucapkan kata dan mencoba posisi lain yang dapat tubuhku lakukan meski sulit. Aku tak pernah sekeras ini pada diriku untuk belajar.

Sesekali beberapa anak laki-laki hilir mudik masuk ke kamarku. Ada yang secara terang-terangan, ada secara sembunyi-sembunyi. Mereka sering bermain denganku. Aku hanya mengenal Pangeran Ekata, sedangkan anak yang lain tak pernah mengenalkan diri.

Hingga, aku berusia delapan bulan, dan aku tahu siapa mereka berempat.

All is Fair in Love and War (AIFILAW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang