Bagian Tiga

1K 186 17
                                    

Laju kaki menginjak setapak yang dihias oleh ranting berduri. Taeyong enggan membuang waktu lebih lama ketika Jaehyun mengatakan ia akan turut serta berjuang di sisi. Jika boleh jujur, rasa khawatir pengkhianatan tentu saja masih menjadi bunga resah. Namun, ia lebih yakin jika angan cita-cita akan negara yang setara akan mengubur setiap aral buruk yang ingin menghantam.

Dua tangannya digenggam oleh Jaehyun dan Johnny karena hanya dirinya yang memiliki limitasi penglihatan jika bulan sedang menggantikan matahari untuk bersinar. Langkahnya hati-hati, pelan-pelan ia menyembunyikan diri di balik bidang punggung Jaehyun hingga pada akhirnya rumah berhias lampu temaram jelas tertangkap oleh dua retina.

Bibirnya sedikit terbuka, takjub akan keindahan sederhana yang terbalut oleh jingga penerangan yang memberi nuansa hangat.

"Indah," bibirnya menggumam.

"Akan lebih indah jika aku mematahkan kepalamu dan memajangnya di pintu masuk, bukankah begitu?"

Taeyong menoleh cepat ke asal suara. Terlihat olehnya seorang vampir yang bersedekap dengan kaki yang bersengkeling angkuh di atas dahan. Ia tersenyum separuh, lantas melompat dan bergerak cepat dan menempatkan diri berdiri di depan wajah Taeyong. Tinggi mereka hampir sama, hanya berbeda beberapa senti namun tetap berhasil membuat kedua tatap mereka setara.

Si vampir mengendus leher Taeyong sebelum menatapnya lagi, kali ini sengaja dengan lidah yang mengelap bibir dengan tatapan lapar yang terlihat nyata. "Betapa bahagianya aku, Jaehyun kembali dan membawa mangsa yang indah untuk dinikmati semalam penuh."

"Ten," Jaehyun menggeram.

"Apa? Bukannya benar? Kau memang membawanya untuk jadi makan malam, bukan?" Tinggi nadanya menyahut, lantas menatap Jaehyun dengan nyalang merah mata yang marah.

"Tidak," Jaehyun membalas. "Aku bersama dia. Aku memihaknya."

"Si Jaehyun dungu," Ia membalas. "Kau sudah disiksa manusia tetapi sekarang kau masih memihak mereka? Apa kau mau dibakar dulu baru kau percaya kalau manusia tidak ada bagusnya?"

"Taeyong berbeda, Ten." Johnny menyahut. "Aku adalah buktinya."

"Diam kau, bajingan." Ten mengumpat. "Kau menjilat kaki manusia agar tetap hidup, kau sama saja!"

"Chittaphon!" Keras Jaehyun memanggilnya dengan nama panjang dan sanggup membuat Ten terkesiap. "Tidak pernah sekalipun aku tidak berjuang untuk kita! Kau harusnya tahu!" Jaehyun mengumbar marah. "Dan jika aku bilang aku berpihak pada Taeyong, harusnya yang kau tanya adalah kenapa! Kau harus tahu alasanku!"

Ten mendecih remeh. "Memangnya apa? Dia tidak lebih dari manusia dengan muka memesona. Memang apa yang dia bisa?"

Johnny balas mendecih balik. "Jika saja kau punya televisi, kau pasti tahu siapa yang ada dihadapanmu saat ini." Sahutnya sarkastik. "Keluarganya adalah alasan presiden sekarang bisa duduk di kursi kepemimpinan. Bukan tidak mungkin jika keluarganya bisa menjadi alasan kebijakan baru diberlakukan."

"Keluarganya," Ten menekan. "Bukan dia," Ten menunjuk dada Taeyong dengan jari telunjuk.

Marah Johnny melihat dan hampir ia tepis jari Ten jika saja ia tidak dihalangi oleh Taeyong. "John, hentikan." Lerainya. "Dia benar, aku hanyalah pecundang tanpa keluargaku." Ujar Taeyong yang lantas menghela napas panjang. "Tetapi percayalah, keluargaku juga sama inginnya sepertiku. Dan aku tidak peduli jika nyawaku yang harus dipertaruhkan demi menunjukkan apa yang Johnny dan kalian mampu lakukan ke seluruh negeri."

"Taeyong,"

Satu alis terangkat, sekali lagi Ten melontarkan decihan remeh. "Lalu, bagaimana kau berencana akan melakukannya, Tuan Muda?" Panggilnya sarat akan intonasi ejekan yang begitu kentara.

Clair de LuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang