Angkasa berhenti di taman yang tidak jauh dari rumah Mentari, duduk di ayunan yang ada di belakangnya. Angkasa memijat keningnya, mengembus nafas kasar. Entahlah sudah berapa kali ia memutari komplek perumahan Mentari, saat ia sedang mencari gadis itu. Pikirannya kembali mengingat ke jadian beberapa jam lalu, di mana Mentari menolak keras untuk menikah dengannya. Tapi bukan Mentari saja yang tidak setuju, tapi ia juga. Bagaimana mungkin ia harus menjalin hubungan dengan gadis seperti Mentari? Bukan tipenya sekali.
Jujur saja, Angkasa tidak pernah memikirkan masa depannya akan serumit ini. Di jodohkan oleh orang tuanya, dengan gadis yang tidak ia suka. Angkasa rasa soal percintaan, memang ia yang paling rumit di bandingkan sahabat-sahabatnya yang lain. Dulu Angkasa sudah merancang masa depannya nanti dengan orang yang ia cintai, bisa hidup bahagia selamanya. Tapi sepertinya angan-angan itu akan berbanding terbalik saat ini, ia harus hidup dengan gadis yang tidak ia cintai.
Pikiran Angkasa kembali mengingat Mentari, gadis itu belum ia temukan apa lagi hari sudah semakin malam juga di iringi suara petir dari langit. Angkasa kembali berdiri, mencari kembali ke beradaan Mentari. Ada rasa sedikit cemas, mengingat gadis itu belum ia temukan. Ini juga karena salahnya Mentari pergi dari rumah, apa lagi ia seorang gadis takut saja terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Angkasa langsung berlari cepat menuju rumah kosong yang tidak jauh dari tempatnya, saat hujan semakin deras. Angkasa mengambil satu kursi yang ada di depan rumah kosong itu, duduk dengan satu tangannya mengusap pelan bahunya saat cuaca semakin dingin, tatapannya kembali melihat jalan raya yang semakin di guyuri hujan.
Angkasa semakin cemas, saat mengingat Mentari. Apakah gadis itu baik-baik saja sekarang? Dengan kondisi seperti ini tidak mungkin ia langsung mencari Mentari lagi, apa lagi saat handphonenya ia bawa. Angkasa hanya takut jika handphonenya rusak terkena air, ia lebih memilih duduk sebentar sembari menunggu hujan reda.
"Hiks hiks hiks."
Angkasa langsung terkejut saat mendengar suara perempuan menangis. Ia menoleh ke arah belakang, tidak mendapati ada orang di sana. Seketika badannya semakin panas dingin, saat ia baru menyadari jika ia sedang berada di rumah kosong.
Bukan berarti karena Angkasa seorang pria dewasa jadi ia tidak akan takut dengan berbau makhluk halus, maka kalian salah. Angkasa juga seorang manusia, ia pasti masih merasa takut jika menyangkut hal seperti itu apa lagi hanya ia sendiri di sini."Ada orang di sana?" tanya Angkasa memastikan lagi saat tangisan itu semakin terdengar di telinganya.
Angkasa berdiri, berjalan pelan ke arah belakang tepat di samping tembok. Sebelum itu Angkasa mengambil satu kayu untuk berjaga-jaga.
"Mentari?"
Angkasa terkejut saat mendapati Mentari yang menangis di pojok, dengan kedua kakinya di tekuk. Angkasa dengan cepat membuang kayu tadi asal, berjalan cepat kearah Mentari.
"Hiks hiks. Ba.. Bapak?" Mentari menegak kan kepalanya, melihat Angkasa yang sudah berjongkok di hadapannya. "Bapak, ngapain ke sini?"
"Nyariin kamu." jawab Angkasa, tatapannya beralih melihat kearah sekitarnya. "Kamu ngapain ada di sini?"
Mentari menggeleng pelan, lalu mengusap wajahnya dengan ujung bajunya sendiri. "Nggak, saya mau menenangkan diri saya."
"Di tempat seperti ini?" tanya Angkasa heran, saat gadis seperti Mentari malah pergi di tempat seperti ini.
Mentari mengangguk lagi.
"Iya, saya suka tempat yang sepi."Seketika Angkasa bergidik ngeri, mengusap pelan kedua bahunya.
"Ya sudah, sekarang kamu harus pulang.""Saya belum mau pulang, pak."
"Kamu gila? Kamu itu gadis, masih mau keluyuran malam-malam begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Lecturer [Tamat]
Teen FictionYoung Married _________________________________ "Pak Angkasa, jangan macem-macem ya! Saya bisa loh, laporin Bapak ke polisi sekarang juga!" -Mentari. "Emang kenapa kalau saya macem-macem sama istri sendiri? Apa itu melanggar hukum negara?" -Angkasa...