1. Aku benci tatapan itu

109 15 8
                                    

Gadis itu merapatkan pegangannya terhadap ransel berwarna biru mudanya itu, menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang tak seharusnya ia keluarkan.

Bisakah bibir-bibir yang terus terucap tanpa mengetahui fakta sebenernya itu diam? Apa berucap kata tak pantas seperti itu dengan entengnya, mereka tidak merasa bersalah?

"Kau masih punya nyali untuk masuk ke sekolah?"

"Dasar tidak tahu malu, pembunuh."

"Karena takut miskin, jadi membunuh orang deh."

"Kalau aku jadi dia sih bakal bunuh diri."

Kirana menghentikkan langkahnya kala mendengar beberapa patah kata itu. Yang paling menusuk dan ia rasa tidak pantas untuk diucapkan. "Apa pantas kamu mengucapkan kata seperti itu? Apa kamu sadar dengan yang kamu ucapkan?"

"Kok songong ya lo?" Gadis itu menatap Kirana tajam, kemudian mendorongnya hingga terjerembab ke tanah. "Pembunuh itu sampah, semua yang terikat dengan pembunuh itu secara tidak langsung juga adalah pembunuh."

Goresan merah itu tercipta di lutut Kirana yang awalnya bersih, membuat gadis itu menahan perih.

"Sekarang, lo adalah anak buangan, nggak lebih daripada itu," ucapnya tepat di hadapan wajah Kirana.  "Jadi, nggak usah sok. Siap-siap aja buat jadi bulan-bulanan yang lain."

Kirana hanya bisa menatap mereka yang kini tertawa di atas penderitaannya dengan mengepalkan tangannya, sembari menahan tangis. Apa pantas mereka tertawa seperti itu dibalik dia yang sedang sedih? Tatapan mengejek, menertawakan itu.

Kirana benci itu.

***

Kirana berjalan perlahan memasuki kelasnya, berusaha mati-matian untuk tidak menghiraukan teman-temannya yang menatapnya tajam. Seolah mereka benar-benar sedang menatap pembunuh.

"Aku tidak bersalah! Aku bukan penjahat dan tidak berhak mendapat tatapan itu!" Ingin rasanya Kirana meneriakkan beberapa kata itu kepada teman-temannya.

Dia benar-benar terkejut saat merasa tasnya ditarik ke belakang, yang membuat Kirana terbentur tembok. "Aw," rintihnya.

Tidak itu saja, kini nyali Kirana menciut menatap lelaki di hadapannya—sang pelaku yang menarik tasnya. Dia Aliandra Dewa Syahputra. Yang Kirana heran mengapa Dewa menatapnya tajam seperti itu? Mengapa Dewa harus menabrakannya ke tembok hingga membuat punggung Kirana sakit?

"Dewa, apa yang—"

"Shut up, b*tch. Masih berani untuk berbicara di hadapanku?"

"Anak pembunuh, dasar pembunuh! Lo—"

"DIAM!" teriak Kirana akhirnya, gadis itu menatap Dewa dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku bukan pembunuh! Aku tidak salah! Bahkan aku sangat yakin, ayahku juga tidak bersalah. Lagipula, jika memang ayahku adalah pembunuh, apa kaitannya dengan kalian? Kalian tidak pantas menatapku seperti itu!"

"ITU BERKAITAN!" teriak Dewa kembali. "Yang bokap lo bunuh itu ... bokap gue. Puas?"

"A-apa?" sahut Kirana terkejut.

Kirana benar-benar menangis saat Dewa menangkup pipinya kasar, rahang-rahangnya yang mengeras hingga uratnya terlihat, menandakan lelaki itu benar-benar marah. "Lihat aja ke depannya, apa yang bakal lo dapet karena ini." 

Ya Tuhan apa salah Kirana? Kenapa dia tiba-tiba mendapat cobaan seperti ini? Mana tatapan yang selalu menatap Kirana ramah? Mengapa mereka semua berubah?

***

Alkirana Alya Novita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alkirana Alya Novita

Aliandra Dewa Syahputra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aliandra Dewa Syahputra

It's not my faultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang