Hari-hari seterusnya terasa sulit bagi Kirana, sangat sulit. Mencoba menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar cacian yang menyakitkan itu. Kirana lebih benci saat mereka mulai menyerangnya dengan serangan fisik. Iya Kirana benci, tapi dia juga tidak bisa melawan.
Istirahat kali ini, Kirana mencoba untuk mendekam di perpustakaan saja. Mungkin dengan membaca cerita ringan perasaannya akan membaik dan juga setidaknya Kirana dapat menjauh sementara dari teman-temannya, terutama Dewa.
Kirana tahu, pasti Dewa sangat terguncang atas meninggalnya sang ayah. Tapi, apa yang dilakukan Dewa juga bisa membunuh Kirana secara perlahan. Mencaci makinya di depan kelas, menyenggol bahu dengan kasar, menyuruh Lena dan teman-temannya untuk menguncinya di toilet.
Kirana mengambil napas, menenangkan pikirannya yang masih saja teringat hal-hal menyakitkan yang sudah ia lalui seminggu ini di sekolah. "Kamu ke sini untuk menenangkan diri, jadi jangan pikirkan apapun, Kirana," ucapnya, sebagai bentuk kepeduliannya terhadap diri sendiri.
Baru dua lembar membaca novel, pikiran Kirana mengarah ke hal lain lagi, tentang ayahnya.
Jika Kirana harus mendeskripsikan kebaikan sang ayah, rasanya skripsi sang kakak yang kini terpampang di meja belajarnya masih kurang banyak kertas yang diperlukan. Karena ada banyak kalimat yang harus dituliskan. Sang ayah dan ibunya lah yang membentuk Kirana yang baik, dan berusaha bersabar.
"Apalagi setahuku, Pak Putra itu atasan ayah. Mereka berdua bahkan kelihatan berteman baik. Lantas, kenapa juga ayah membunuhnya? Ayah waktu itu juga berteriak bahwa dia tidak membunuhnya." Kini Kirana menopang dagunya sambil berpikir. "Tapi, semua bukti seolah mengarah ke ayah. Bagaimana ...."
"Bagaimana ya keadaan ayah di penjara? Semoga baik-baik saja," lirih Kirana kemudian.
Gadis itu terperanjat saat tiba-tiba seseorang merebut novel yang sedang dibacanya. Hendak meluapkan kekesalannya, namun dia mengatupkan kembali bibirnya saat melihat bahwa sang pelaku adalah Dewa.
Kirana membulatkan matanya, memutar otak bagaimana untuk kabur dari lelaki di hadapannya sekarang.
"Ke lapangan basket sekarang," ujar Dewa penuh penekanan.
"Sebentar lagi bel mas---"
"SEKARANG!"
"O-oke."
Dewa menarik tangan Kirana kasar, membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Kirana rasanya sedang diseret karena melakukan kesalahan besar.
Kirana didorong ke tengah-tengah lapangan, membuatnya jadi pusat perhatian orang-orang. Parfum vanilla yang biasa Kirana pakai tiba-tiba baunya telah lenyap, berganti bau amis serta cairan kuning putih melekat dengan seragam Kirana.
Serasa satu sekolah kini menghakimi Kirana, melempari telur diikuti dengan kata-kata yang tak pantas didengar.
"HEI STOP! STOP! ASTAGA!"
"STOP!"
"Ya ampun, Kirana." Kirana mendongak saat menangkap atensi Nana dan Sinta, temannya yang kelihatannya baru masuk sekolah karena izin seminggu untuk kepentingan keluarga.
Merasakan Nana yang memeluknya, Kirana ikut membalasnya. Meluapkan segala kesedihan dan kekesalannya. "Kamu kemana aja, Na?"
"Maaf, maafin aku ya, Kirana. Sekarang bangun yuk," ujar Nana, menuntun sahabatnya untuk berdiri. Gadis berambut pendek itu kini menatap tajam semua orang, begitu pula Sinta.
"Ngerasa hebat kalian ngelakuin kayak gini, iya?" ujar Sinta kesal. "Sekolah masih dibayarin gak usah sok deh. Sumpah ya, gue laporin bokap gue modyar lo semua! Dasar sampah masyarakat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
It's not my fault
FanficBukan kesalahan Kirana jika kita mendengar kasus pembunuhan terhadap salah satu petinggi perusahaan terkemuka. Kirana juga tidak ingin ini terjadi, apa jika ayahnya yang membunuh, dia juga patut dicap sebagai pembunuh? Kirana tidak tahu apa-apa, tet...