5. Sesama Manusia

27 6 12
                                    

Kirana mengeryitkan dahinya saat teman-temannya menatapnya aneh, sinis, ada yang setengah tertawa mengejek. "Kenapa sih?" batinnya.

Gadis itu berusaha untuk tidak peduli dan tetap berjalan menuju kelasnya.

"Kirana!"

Mendengar suara yang menyerukan namanya, Kirana menoleh dan mendapati Satria yang nampak berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

"Berbaliklah!"

"Kenapa?" tanya Kirana bingung. Dia bingung melihat raut wajah Satria yang nampak tak nyaman dan seperti orang yang tergesa-gesa.

Kirana langsung paham saat menatap kertas yang dipegang Satria.

"Dari tadi ini menempel di punggungmu," jelas Satria yang memegang kertas dengan tulisan 'Ayahku Pembunuh'.

"Oh, jadi itu alasan teman-teman menertawaiku, hah," ujar Kirana yang berusaha menahan air matanya tak keluar. "Terima kasih, Satria. Setidaknya kau adalah orang ketiga yang peduli padaku."

Satria mengangguk, kemudian menatap dalam mata Kirana. "Are you okay?"

Kirana tersenyum menanggapinya. "Nggak apa-apa kok. Kayaknya ini udah jadi sarapan aku sehari-hari selama satu bulan ini."

Satria tersenyum getir, merasa prihatin dengan nasib yang menimpa Kirana. Sudah satu hampir satu bulan berlalu sejak kasus pembunuhan Ayah Dewa dengan terduga pelaku adalah Ayah dari Kirana, tetapi belum ada titik terang dari kasus tersebut yang justru berimbas ke Kirana sampai detik ini.

Jika pun memang Ayah Kirana yang bersalah, Satria berpikir bahwa tidak sepantasnya Kirana yang harus menanggung semuanya. Jelas ini bukan salah Kirana, tetapi hampir semua siswa dan bahkan beberapa guru seolah menatap Kirana penuh benci karena kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya.

"Kirana, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

Lamunan Kirana buyar saat Satria mengajaknya berbicara, "Tentu saja. Apa itu?"

"Apa ibumu tau tentang apa yang terjadi padamu di sekolah ini?"

Kirana langsung menghentikan langkahnya dan menatap Satria sambil tersenyum. "Tidak."

"Lalu kakakmu? Kau punya kakak 'kan? Setidaknya mengadulah kepadanya," ucap Satria. "Jangan memendamnya sendirian, Kirana."

"Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiran mereka, Satria. Kakakku sudah sangat repot mengurusi pengacara untuk kasus ayah dan ibuku jadi mudah sakit sejak ayah dipenjara," jelas Kirana. "Aku tidak apa-apa kok. Sudah mulai terbiasa juga."

"Lagipun aku masih memiliki Sinta dan Nana yang selalu mendukungku di sini," ucap Kirana. "Oh! Kau juga!"

Satria tersenyum. "Itu benar, mulai sekarang jangan sungkan untuk menghubungiku kalau terjadi apa-apa padamu. Kita teman 'kan?"

"Oke siap!"

"Drama picisan murahan, cuih."

Baru sampai di kelas, Satria dan Kirana disambut ucapan menusuk dan tatapan tajam dari Dewa.

Tentu ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Kirana. Tetapi, tetap saja gadis itu tetap merasa takut pada hati kecilnya.

"Kayaknya lo udah ada pacar baru, Kirana," ujar Dewa menatap Kirana dan Satria bergantian. "Wah, ini nggak adil ... gue masih sedih karena ayah meninggal tapi lo malah seneng-seneng sama pacar lo, seolah gak ada yang terjadi."

"Dewa, ini masih pagi." Satria mengingatkan. "Tolong kendalikan emosimu."

Dewa menatap Satria tajam. "Lo yakin mau pacaran sama anak pembunuh? Gak takut sial keluarga lo nanti?"

It's not my faultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang