TIGA

2.9K 195 8
                                    

Jose POV

Prasaja menoleh kiri dan kanan bingung.

"Bro!" pekikku pelan. Prasaja melihat kearah atas dan terkejut, tubuhnya bahkan terjatuh ketanah.

"J... Jo..." gagapnya.

"Sssssttt!" pintaku dari atas pohon. "Kemarilah."

Prasaja mengangguk dan menaiki pohon tersebut. "Ini benar kamu?" tanyanya bingung.

"Tentu saja! Apa yang terjadi?"

Prasaja melihat sekeliling dan berbisik. "Bos dan semua anggota mengira kamu mati."

"Apa!" timpalku kaget.

"Suasana lagi kacau."

"Kenapa?"

"Bos sekarat."

"Hah? Sekarat? Bagaimana mungkin?"

"Setelah kematianmu, bos tiba-tiba jatuh sakit. Aku mencurigai Andra melakukan sesuatu terhadapnya."

"Andra yang menjebakku di pelabuhan itu."

"Aku tahu."

"Kamu tahu?"

"Aku mendengar salah satu anak buahnya bercerita, saat aku berusaha menyelamatkanmu, polisi sudah mengepung."

"Sh*t!"

"Bos juga mengetahui yang sebenarnya."

"Bos memang selalu baik. Lalu, bagaimana kondisinya?"

"Saat ini bos dirawat intensif, aku mengepalai penjagaannya. Andra menghasut hampir semua anggota."

"Sialan!"

"Andra tak boleh melihatmu."

"Tapi aku ingin menemui bos."

Prasaja menghela napas panjang, "kamu akan mati seketika."

"Kamu harus membantuku."

Prasaja melihat sekeliling dan mengangguk. "Tidak sekarang." Prasaja menunjuk kearah utara. "Kamu lihat kamar itu?" aku mengangguk. "Bos dirawat di sana. Aku akan memberimu signal lampu biru ketika seluruh gedung aman."

"Thanks, Bro."

"Ingat, kamu tak boleh terlihat siapapun. Semua orang berpikir kamu mati."

"Oke."

Mendekati subuh, aku melihat cahaya lampu yang dimaksudkan Prasaja dan mulai bergerak hati-hati melalui beberapa penjaga yang berada di sekeliling halaman. Saat tiba di dalam gedung, aku nyaris saja ketahuan namun segera ditarik cepat oleh Prasaja yang menunggu.

Kami mengendap menuju kamar bos. Air mataku nyaris jatuh saat melihat kondisinya. Kenapa dirinya yang perkasa terbaring tak berdaya dengan banyak selang medis yang tertempel ditubuhnya? Aku mendekat berusaha tak membuat suara.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku bergetar.

"Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba beliau jatuh sakit dan sudah seperti ini."

"Kamu pikir aku akan percaya?! Kalian sudah dibodohi, buka matamu!"

"Aku tidak memiliki wewenang, J. Kamu tahu itu."

Aku menyisir rambutku frustasi. Bos sudah begitu baik sejak awal terhadapku. Aku ingin membalas semua jasanya, jika itu harus mengorbankan nyawaku, aku sudah siap. Tanganku terkepal dengan kuat menahan amarahku yang bisa meledak kapan saja. Tepat saat itulah aku melihat bos membuka matanya dan mengerang pelan. Aku dan Prasaja mendekat. "Bos!" Prasaja terpekik.

Bos melihatku pilu dan tersenyum pelan. "Aku percaya kamu masih hidup, Nak." Katanya setengah berbisik. Haru memenuhi hatiku seketika. Pria yang sudah kuanggap sebagai ganti orangtuaku kini terbaring antara hidup dan mati. Tetapi aku tidak boleh terlihat lemah. "J..." Lirihnya lagi menatapku dengan sirat mata penuh harapan.

Aku menoleh kaget dan menghampirinya. Suaranya sangat kecil. "Bos!" bisikku parau menahan tangis. Prasaja berjalan menuju pintu untuk berjaga.

"A... ku sangat se... nang ka... mu baik-baik saja." Katanya dengan suara terbata. Aku mengangguk kuat.

"Aku akan memindahkanmu untuk mendapat perawatan lebih baik."

Bos menggeleng kuat. "Hidupku sudah tak lama lagi."

"Jangan berkata begitu. Kamu sehat, Bos."

Mendengar semangatku, bos tertawa kecil. Napasnya semakin terlihat sesak. "Pergilah selagi bisa. Mulailah hidup dengan baik. Prasaja sudah mengurus surat kematianmu. Kamu bisa memiliki kehidupan baru. Tubuhku sudah rusak."

"Andra meracunimu! Benar bukan?" tanyaku sengit. Bos kembali tersenyum kecil.

"Bisakah kamu mengambil sesuatu dijas? Robek lembar kain pertama dan lapisan kedua. Cepatlah." Pintanya terburu-buru.

Aku mengikuti dengan tangan gemetar. Air mataku bahkan jatuh. Aku meraih jas yang berada disofa tak jauh dari tempat tidur. Aku meraba dan tidak merasakan apapun di dalamnya. Aku menggunakan sebuah pisau untuk merobek sesuai yang diinstruksikan. Aku merogoh kedalam dan menemukan sebuah kertas yang terbungkus plastik.

Kuraih dan menghampiri tempat tidur lagi. Saat itu bos sudah dalam keadaan sadar dan tidak sadar. Air mataku tak berhenti mengalir. Sejak belia, aku sudah tidak pernah menangis. Namun kali ini hatiku begitu perih karena bos sudah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. "Ini?" tunjukku.

Matanya sayu menatap dan mengangguk. "Datanglah di alamat itu dan temui orang itu. Tidak ada satupun orang yang mengetahui tentangnya."

"Siapa dia?"

"Sahabat baikku." Jawab bos dengan satu tarikan napas. "J, mulailah hidup baru. Jangan bekerja dalam dunia hitam lagi. Kamu cerdas, dapatkan hidup lebih baik."

"Bos, kamu akan hidup... kita... kita... aku bahkan belum membalas budimu." Tangisku meraung-raung.

Tangannya terangkat dan mengelus rambutku pelan. "Sungguh keterlaluan orangtua yang membuangmu dulu."

"Kamu adalah orangtuaku, Bos! Tidak ada yang lain."

"Uhuuk!" bos terbatuk mengeluarkan banyak darah. Aku sudah akan bangkit mencari bantuan, namun bos menahan tanganku. "Aku sudah tak terselamatkan."

"Tapi..."

"Peta transaksi terakhir... kamu memilikinya?" ungkapnya lagi. Aku teringat dan merongoh kantongku. "Semua itu milikmu. Datanglah kesana." Aku mengerutkan kening bingung. Bukannya ini adalah transaksi narkoba terakhir? "Uhuk!" kali ini bos semakin memuntahkan darah dalam jumlah banyak, Prasaja yang baru memasuki kamar terkejut dan menghampiri kami.

"BOS!" Teriaknya.

"Prasaja!" bos berusaha tetap sadar dan memegang tanganku erat. "Selamatkan, J."

"Tapi kamu terluka, Bos."

"Se.la.mat.kan, J." tekannya keras. Prasaja menelan ludah keras dan mengangguk. Sebelum kepergianku, aku meraih tangan kanan bos dan mengecupnya penuh air mata.

"Terima kasih, Bos. Selamanya, aku tak akan melupakanmu." Pamitku pilu. Bos mengangguk dan tersenyum kecil. Prasaja menarik tubuhku cepat dan berlari kearah luar.

"Pengawal akan datang dalam lima menit, kamu harus pergi dalam kurun waktu itu."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku akan baik-baik saja, J."

"Pras!"

"Aku ingin mati di sini, bersama pemimpin kita. Aku sudah siap." Matanya berkilat sungguh-sungguh. Aku tahu benar sifatnya. Jika dia sudah menetapkan hati, tidak ada seorangpun yang bisa mengubahnya dengan mudah.

"Aku..."

"Bos ingin kamu memiliki hidup baru. Bos mempertaruhkan nyawanya untukmu, karena membelamu." Kami melompati pagar dan bersembunyi dari sorotan lampu senter. Aku berlari duluan diikuti oleh Prasaja. Kami berlari sekitar 5 menit. "Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini." katanya mengucap salam perpisahan.

Vanilla's Bodyguard (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang