Jose POV
"Tapi..."
"Terimalah, Paman."
"Tidak, J. Kamu lebih membutuhkannya."
"Hanya ini yang bisa kuberikan, Paman. Kumohon... terimalah."
"Kami menolongmu bukan berharap imbalan, Nak."
"Aku tahu. Itulah mengapa aku memberikan ini." Aku tersenyum dan memeluk tubuh renta Karno. Tangannya bergetar menerima hadiah itu. Aku hanya dapat membeli kepingan emas dengan berat tertentu untuk menghindari kecurigaan. "Ini terlalu besar, J."
"Tidak sebanding dengan kebaikan yang Paman dan Ibu lakukan."
"Sebaiknya kita menggunakannya untuk hal lain."
"Maksud, Paman?"
"Bagaimana dengan membuka usaha?" imbuhnya semangat. Aku tersenyum kecil dan mengangguk.
"Ide yang bagus. Paman ingin membuka usaha apa?"
"Bagaimana dengan supplier ke pasar?"
Aku mengangguk berpikir. Setidaknya aku bisa bertahan hingga aku memutuskan untuk memulai langkah selanjutnya. Namun ternyata ide itu tidak berjalan dengan baik. Karno yang pada dasarnya tidak memiliki prasangka buruk terhadap siapapun mendapat musibah.
Dirinya tertipu saat membeli mobil pick-up dan kehilangan seluruh dana yang pernah aku berikan. Mobil yang tiba sudah rusak dan sulit digunakan. Pemilik mobil tersebut ternyata hanya memolesnya dari luar. Karno mengurus seluruh administrasinya dan transaksinya sendiri sehingga dia mudah tertipu.
Aku yang sebelumnya bekerja pada bagian otomotif terang tahu bahwa seluruh mesin mobil nyaris tidak layak pakai. Karno merasa terpukul dan tidak enak terhadapku karena kerugian itu. Disisi lain akupun tidak bisa lagi menarik uang tabunganku dulu karena seluruhnya sudah habis digunakan untuk pengobatan Sumi sebelumnya.
Aku tidak berpikir akan berakhir seperti ini. Demi menyambung hidup, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja sebagai pekerja harian. Karno membantu sebagai buruh dipasar. Begitulah kehidupan baru yang kujalani sembari membangun kepercayaan yang harus kudapatkan terlebih dahulu.
Tak terasa 1 tahun berjalan setelah kematian Sumi. Akhirnya aku berhasil mendapat kepercayaan untuk membeli mobil bekas tanpa sepengetahuan Karno. Mobil itu akan aku gunakan untuk menemui teman baik almarhum bos sesuai dengan petunjuk yang diberikan sebelum kematiannya.
Dihari Sabtu yang dingin, sejak subuh aku sudah berpamitan. Aku berjalan beberapa menit menuju tempat di mana mobil itu terparkir. Aku menyiapkan bekal makanan dan perlengkapan lainnya. Perjalanan panjang itu kulalui selama dua hari lebih. Kadang aku beristirahat dan membuka bekalku. Semuanya itu kulakukan didalam mobil dan kembali melanjutkan perjalanan.
Jika aku membutuhkan toilet, aku akan berhenti di rumah ibadah terdekat atau pemukiman warga yang terlihat tidak ramai. Tubuhku sangat pekat karena aku tidak mandi selama waktu itu.
Setibanya di alamat yang diberikan, wajahku mengkerut bingung. Aku berhenti pada sebuah pemakaman. Aku kembali mengecek peta tersebut berulang kali. Di mana tepatnya aku melewatkan point penting itu? Aku menyusuri halaman pemakaman itu dengan kesal. Aku lelah dan gerah, semakin menambah kejengkelanku.
Aku memilih membaringkan tubuhku di bawah pohon. Aku sudah gagal. Sepertinya aku tersasar. Aku hanya butuh beristirahat sejenak dan melanjutkan perjalanan. Angin semilir membuat tubuhku tenang dan rileks. Perlahan aku mulai tertidur.
Entah berapa lama waktu yang kugunakan untuk tidur, tiba-tiba seseorang membungkam mulutku mengunakan sapu tangan. Sedikit demi sedikit aku kehilangan kesadaran. Damn! Seseorang menculikku.
BYUUUR!
Aku terbangun kaget dengan seember air membasahi seluruh tubuhku. Aku terperajat bangun. Tubuhku terikat pada sebuah kursi. Seseorang di hadapanku memegang sebuah ember yang sudah kosong. "Bos!" teriaknya. "Dia sudah bangun."
Aku menatap sekeliling ruangan itu, terlihat gelap didominasi oleh warna abu dan hitam. Di mana aku? Belum sempat aku bertanya, empat orang berbadan besar mengenakan kaos hitam memasuki ruangan.
Lalu mengikuti seorang berbadan paling pendek di antara mereka dan mengenakan pakaian putih. Aku menatapnya tajam. "APA MAKSUDNYA INI?" Marahku memuncak.
Pria berbaju putih itu mengangkat kertas yang diberikan bos. "Sh*t! Kembalikan! Itu milikku!" makiku.
"Dari mana kamu mendapatkannya?" suara beratnya membuatku merinding. "Ini jelas bukan milikmu."
"Itu milikku!"
"Kamu mencurinya."
"Aku tidak mencurinya. Itu milikku, kamu tuli?" gertakku.
BUUUUK!
Sebuah tinjuan mendarat di pipi kiriku keras. "Lalu siapa yang memberimu ini?"
"Aku hanya akan membicara panjang lebar sesuai dengan orang yang dimaksud dipetunjuk itu." aku meludahkan darah akibat robeknya bibirku. Wajah pria itu mengeras menatapku jengkel.
"Kasih pelajaran." Perintahnya dengan suara mendesis. Aku masih berpegang teguh dan menutup mulut.
"KEMBALIKAN!" teriakku nyaring sebelum beberapa bodyguard itu memukulku habis tanpa ampun.
Mataku terpaksa terbuka pelan setelah beberapa lama jatuh pingsan. Pemandangan ruangan putih terhampar di hadapanku. Aku menoleh pelan sambil mengerang, tubuhku sakit. Bahkan bernapas pun sakit. Namun yang aneh adalah aku sudah berada di dalam ruangan berbeda.
Aku terbaring dengan perban diseluruh lukaku. Aku mencoba menggerakkan kakiku tetapi sulit. Lalu aku mencoba menggerakkan tangan dan hanya jemari yang berhasil. Aku menyerah.
Aku kembali menutup mata berusaha menenangkan diri. Beberapa saat berlalu, aku mendengar suara kaki mendekat. Pintu terbuka setelahnya, mataku terbuka seketika.
"Ah! Kamu sudah bangun?" seorang wanita berpakaian putih layaknya perawat menghampiriku. Wajahnya berseri menatapku. Tangannya dengan cekatan memeriksa alat dan kondisi tubuhku.
"Si... siapa?" tanyaku ditengah keringnya tenggorokanku.
"Aku perawat di sini. Kamu nyaris mati. Mereka sungguh keterlaluan. Syukurlah tubuhmu kuat."
Aku menatap bingung. "Di sini?"
"Ah! Aku tidak bisa memberi detailnya. Bos akan kemari sebentar lagi." Tuturnya dengan senyuman manis. "Istirahatlah. Kamu ingin makan sekarang?"
"Air..." pintaku pelan.
Dengan cekatan perawat itu membantuku minum. Aku kembali berbaring. Tepat saat tubuhku kembali menyentuh selimut lembut, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya memasuki ruangan diikuti seorang pria yang mengenakan jas rapi, berkacamata dan rambut klimis. "Tinggalkan kami." Katanya dengan suara baritone mendominasi.
"Baik, Bos." Jawab perawat itu segera dan meninggalkan ruangan. Bos? Jadi dia pemimpinnya.
Pria berambut klimis itu segera menarik bangku dan mempersilahkan duduk pria yang dipanggil 'bos' itu. "Bagaimana keadaanmu?" Aku tidak menjawab dan hanya menatap tajam. "Ah... maaf. Kamu pasti sangat kesal karena anak buahku."
"Kembalikan kertas itu!" sengitku langsung.
Pria itu tersenyum dan mengangguk kepada pria klimis dibelakangnya. "Tak kenal maka tak sayang. Aku adalah Josiah dan dia adalah sekretarisku, Silas."
"Cukup basa basinya! Kembalikan milikku!" potongku tegas.
Josiah tertawa kecil. "Anak muda jaman sekarang." Gelengnya dan meraih iPad dari tangan Silas. "Kamu mengenal orang ini?"
Mataku melotot terkejut melihat foto bos terpampang. "Di... dia adalah bosku."
"Milo adalah bosmu?" tanyanya terkejut. Milo? Well... almarhum bos tidak pernah membuka identitas aslinya kepada kami anak buahnya bahkan namanya sekalipun. Kami selalu memanggilnya bos.
Milo? Nama yang unik. "AH! Jadi kamu J?" wajahnya berseri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla's Bodyguard (COMPLETED)
RomanceWARNING!!! 21+ (Sudah diperingatkan ya. Jangan ngeyel yang belum cukup usia) *Belum diedit sedikitpun. Penuh gramatikal eror.* Sebuah kisah cinta berbeda status yang perlu perjuangan dengan tawa dan air mata untuk bersama. Setiap insan manusia meman...