DUA

3.4K 192 9
                                    

Jose POV

"KAPAL DALAM POSISI PEMERIKSAAN. HARAP BERLAKU KOOPERATIF."

'Sh*t! Andra benar-benar melakukannya.' Aku sudah berdiri di tepi kapal untuk melihat situasi. Ada beberapa polisi berseragam sudah berjaga. Dari kejauhan aku bisa melihat beberapa anak buah bos yang bersekutu di sekeliling Andra.

Polisi-polisi itu tidak mengenalku tetapi Andra cs mengenalku meski aku sudah memotong rambutku. Beberapa polisi bergerak memasuki kapal. Aku terus berjalan dan melihat kearah laut, jika aku terjun kebawah aku akan selamat.

Aku meraih sebuah plastik dan membungkus peta berharga itu. Ditambah sampel ini terlalu berat. Namun aku tak punya pilihan lain. Aku segera meraih tali tambang dan mencoba menyelinap di sisi kapal. Mereka akan mendengar suara deburan air jika aku melompat dari ketinggian.

Aku harus mencoba lebih dekat dengan air. Tanganku tergores oleh karat kapal. Darahnya mengaliri seluruh lengan kiriku. Aku meringis menahan perih. Aku menunggu saat kapal membunyikan sirine hingga menyamarkan deburan air jika aku mencoba terjun.

Tangan kananku yang bertahan menggantung mulai bergetar tak kuat. Aku menutup mata menguatkan hatiku. Darahku mengalir dan jatuh di kegelapan malam melalui lukaku yang terbuka. Tepat disaat kekuatanku nyaris habis, kapal yang berada tak jauh dari posisiku membunyikan sirinenya tanda keberangkatan.

Aku menahan napas panjang dan melepaskan peganganku. Tubuhku jatuh memasuki air laut yang dingin. Tulangku terasa ditusuk ribuan jarum. Aku mencoba berenang ketepian. Aku bisa mendengar suara ribut-ribut dari atas, sepertinya mereka berhasil mendapatkan pria yang baru saja bertransaksi denganku.

Aku melirik kiri dan kanan, aku tak bisa melihat tempat di mana aku bisa mendaki ke atas. Aku mencoba berenang lebih jauh meski dengan lambat karena beban yang ada bersamaku. Aku mulai merasa kelelahan. Mataku menjadi berat, arus ombak yang lumayan keras membuatku kepayahan.

Karena kehilangan darah, aku semakin rapuh. Tidak! Aku tidak boleh lengah saat ini. Aku harus menyelesaikan tugasku. Namun semakin aku mencoba untuk melawan arus, tubuhku semakin berat. Satu ombak besar mengenai tubuhku, aku terbawa arus. Seluruh tubuhku kaku. Aku pasrah terombang ambing dan tenggelam.

Apakah ini akhir bagiku?

***

Aku terbangun dengan mengerjapkan mata berulang kali. Kepalaku sungguh sangat sakit. "Kamu sudah sadar, Nak?" wajah seorang ibu setengah baya berada tepat di atas kepalaku. Aku mendadak terkejut dan bangkit cepat.

"Auhhh!" aku mengerang sakit. Seperti sebuah balok baru saja menghantam tulang tengkorakku.

"Kamu baru sadar, jangan memaksakan diri." Ibu itu menatapku kuatir dan berusaha membantuku berbaring namun kutepis tangannya cepat.

"Siapa anda!" tanyaku setengah berteriak. Aku tak mengenal mereka. Mendengar pertanyaan kasarku, seorang laki-laki paruh baya memasuki ruangan tergopoh-gopoh. Wajahnya terkejut melihatku.

"Kamu sudah bangun?" wajahnya berseri kemudian dan mendekat.

"Jangan sentuh!" tepisku kali ini lebih kasar, aku berusaha bergerak lebih aktif namun seluruh sendiku meronta nyeri.

"Tenanglah. Kami bukan orang jahat. Kamu sudah pingsan selama 2 hari." Terang ibu itu.

Aku menoleh dengan kaget. "Du... dua hari?"

"Ya, minumlah ini agar kamu merasa lebih baik. Kami tidak akan menyakitimu." Kini bergantian bapak tersebut yang memberiku segelas teh hangat. Aku meraihnya dengan tangan gemetar. Keduanya tersenyum lega. Aku meletakkan gelas kosong tersebut di sebuah meja yang berada di sebelah tempat tidur.

"Apa pelabuhan jauh dari sini?" tanyaku kemudian, teh hangat itu membuat tubuhku menjadi rileks seketika.

"Sekitar 4 jam."

"Se... jauh itu?" tanyaku syok. "Lalu bagaimana aku bisa berada di sini?" aku mendengar suara ombak dari luar, pastilah pantai tidak jauh.

"Bapak menemukanmu terdampar di pantai saat ingin menarik jaring. Tubuhmu pun terluka karena terhantam karang."

Aku baru menyadari jika bahuku terluka, karena syok yang kualami, aku sampai lupa mengecek keadaan tubuhku sendiri. "Terima kasih sudah menyelamatkanku."

"Tidak masalah, Nak." Bapak itu bangkit mengambil gelas kosongku dan memberikannya kepada istrinya. "Istirahatlah."

Setelah sepeninggal suami istri paruh baya yang menyelamatkan nyawaku, aku menatap langit-langit penuh dengan tanda tanya. Apa bos baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan narkobanya?

Seketika aku terkejut dan mengecek seluruh pakaianku. Bahkan sekarang pakaian serba hitamku yang basah sudah berganti dengan kemeja hangat kering. Aku hampir saja mati. Aku mencoba bangkit namun bahuku terlampau nyeri.

Aku memaksakannya dan berjalan menuju jendela. Saat itulah aku melihat hamparan luas pantai berpasir putih yang bersih. Indah sekali. Aroma asin air laut tiba-tiba menyeruak kedalam indera penciumanku. Aku memilih kembali berbaring. Aku harus menemukan peta itu dan kembali secepatnya. Bos pasti mengkhawatirkanku.

Menjelang siang, aku berjalan disekitar pantai dan mengecek pakaian lamaku. Untunglah peta yang terbungkus plastik itu masih berada di dalam kantongku. Di pesisir pantai ini hanya ada sekitar 3 rumah dan terlihat jauh dari keramaian. Aku mengobrol panjang lebar kepada bapak yang menyelamatkanku itu.

Namanya Karno, sedangkan istrinya bernama Sumi. Mereka adalah pasangan suami istri yang kabur dari desa asal mereka dan mencoba peruntungan di daerah lain. Sudah lebih 30 tahun mereka bersama tetapi belum dikaruniakan anak karena Karno divonis mandul.

Itulah mengapa saat melihatku, mereka berdua berharap aku akan tinggal bersama selamanya di sana dan menjadi anak angkat mereka. Terlebih mereka tahu benar jika aku adalah anak yatim piatu. Aku sungguh takjub mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan tidak mengecek backgroundku. Apa mungkin karena tempat ini begitu terisolir?

Memasuki hari ketiga, aku memutuskan untuk pergi. Meski berat hati, mereka merelakanku. Mereka berpesan jika aku tidak memiliki tempat kembali, mereka dengan senang hati membuka pintu. Perjalanan menuju markas dibutuhkan selama tiga jam menggunakan angkutan umum. Begitu mendekati wilayah tersebut, aku memilih berjalan kaki demi berjaga-jaga dari anggota yang berniat jahat. Bisa saja Andra sudah mencuci otak beberapa kawanku.

Aku berjalan kaki selama 30 menit sebelum mencapai markas. Penjagaan terlihat ketat. Aku mulai curiga. Aku berlindung di atas salah satu pohon rimbun yang biasa kugunakan untuk beristirahat jika ingin menenangkan diri. Hanya aku yang mengetahui ini beserta Prasaja sahabat baikku.

Aku menunggu sambil memantau. Penjagaan semakin ketat mendekati malam bahkan aku tidak bisa memasuki gedung begitu saja. Langit semakin gelap, hujan rintik perlahan turun. Beberapa jam kemudian, aku melihat Prasaja berjalan menuju tempatku bersembunyi dan menyalakan rokoknya.

"Pssst..." panggilku pelan.

Vanilla's Bodyguard (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang