limabelas

349 23 2
                                    

Rahman sudah terbang ke London dan aku kembali ke rumah bersama Mateen. Sejak datang ke rumah beberapa menit lalu, aku tidak berbicara apapun dan seperti biasa pula pria itu yang cerewet dan banyak tanya. Ia tak henti mengikutiku kemanapun seraya berceloteh ria.

"Bisakah kau diam dan berhenti mendekatiku!" aku berteriak kesal pada Mateen sementara pria itu tampak sama sekali tidak jera. "Kau mau aku membuat batas di rumah ini?"

"Kau batasi pun aku tidak akan mempan" celetuknya tidak mau kalah sambil menyilangkan tangan di dada. Baik jika itu maunya aku akan membuat batas di rumah ini.

"Kau tidak boleh melewati garis ini" kutunjuk pilar rumah yang menjadi hiasan rumah sebagai pembatas ruangan. "Kau tidur di kamar tamu dan beli makanan sendiri!"

"Kalau begitu jika pembalutmu habis jangan pernah memintaku untuk membelikannya lagi. Bagaimana apa itu adil?" bukannya merasa takut, iblis di dalam tubuhku langsung menyulut api besar membuat amarah naik ke puncak kepala.

"KAU TIDAK ADA GUNANYA, SEKARANG KELUAR DARI RUMAHKU!" Mateen membulatkan kedua matanya seperti ikan buntal terkejut akan perintahku. Lagi pula salah siapa yang membuatku naik darah.

"Brianna aku hanya bercanda" Mateen memohon padaku. Ia bahkan menarik ujung mantel ketika aku menyeret tubuh besarnya keluar dari rumah. "Ya Tuhan Brianna aku hanya bercanda ayolah. Maaf!"

"Tidak ada kata bercanda dalam kamusku!" Ia terus memohon padaku, menarik ujung mantel dengan wajah yang memerah seperti akan menangis. Jeez, mengapa aku malah tidak tega melihatnya. "Baiklah, kau selamat hari ini jika kau berani macam-macam tidak akan pernah kubukan pintu ini untuk mu lagi"

"Ya aku janji" ia mendengus lega dan mulai tersenyum kembali.

"Kau tidur di kamar tamu sekarang" mata elang itu kembali menatap membulat. Ia pasti akan protes lagi.

"Kenapa begitu?"

"Sekarang pilih, keluar dari rumah ini atau tidur di kamar tamu?" Mateen mengusap wajahnya kasar, lalu mencoba untuk tersenyum. "Jangan menyentuhku sebelum aku memaafkanmu"

"Memangnya aku salah apa?"

"Kau memukul Rahman kemarin" Ia berdecak. Aku tahu ia pasti kesal tapi tolonglah tidak boleh ada baku hantam. Jika Rahman yang melakukannya akupun akan berbuat hal yang sama pada pria itu.

"Serius karena itu?"

"Lalu?"

"Ya baiklah, istriku yang cantik aku akan tidur di kamar tamu" Ia tidak berani melawanku, baguslah.

Setelah berdebat tadi, aku lansung masuk ke kamar mengurung diri dan menjernihkan pikiran. Ah, seharusnya aku tidak perlu overthinking karena Iman sendiri telah berjanji tidak akan meninggalkanku. Ya, aku akan pegang janjinya dan untuk Mateen pria sialan itu tidak akan ikut campur dalam urusan ini.

"Brianna!" lagi Mateen berteriak lebih tepatnya menggedor pintu kamar. Apalagi ya Tuhan!

"What?" teriakku tanpa bergerak sedikitpun dari atas ranjang.

"Aku tidak mau tidur di kamar tamu!" Alasan apalagi sekarang! Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu kamar. Saat di buka pemandangan wajah pucat Mateen dengan rambut berantakan tubuh bergetar seperti habis melihat hantu.

"Kamar itu ada hantunya"

Hah? Hantu? Jeez, wajar saja jika ada karena kamar tamu jarang di gunakan. Aku pernah membaca novel jika sebuah kamar tidak pernah diisi itu akan mengundang mahluk halus untuk tidur di atas ranjangnya. Bagusnya Aku tidak percaya itu.

Sliding into Your DMs (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang