4. Cuma Mau Lo

3 2 0
                                    

Jangan lupa kritik, saran, vote dan komentar ya✨

***

Pagi itu hujan mengguyur Jakarta. Lebat. Pandangan Sia menerawang ke luar jendela. Semalaman ia gundah gulana, bahkan ia baru bisa tertidur pukul 3 dini hari gara-gara kejadian kemarin di parkiran sekolah. Matanya mengantuk, namun Naga lagi-lagi mengisi kepalanya.

Bagaimana Naga berangkat sekolah dengan cuaca seperti ini?

Tanpa mengalihkan pandangan ke luar jendela, Sia bertanya pada Bia yang sedang menyetir. "Bi, Naga lagi ngapain ya?"

Bia melirik Sia, wajahnya tidak secerah biasanya dan mata mengantuk itu tidak bisa ditutupi. Tanpa menjawab pertanyaan Sia, gadis dengan kaca mata bulat itu malah balik bertanya. "Kenapa lo?"

"Sedih." Tarikan napasnya panjang. Ia menempelkan kepalanya di kaca. "Naga pasti kehujanan."

Satu alis Bia naik. Ia benar-benar penasaran dengan perasaan Sia. Dari kelas satu SMP mereka saling mengenal, tapi Sia belum pernah seperti ini. "Lo suka banget sama Naga?"

Sia mengangguk.

"Gimana bisa secepet itu?" Agaknya bagi Bia itu memang terlihat aneh. Bukan ia tidak mendukung, namun sikap Sia sekarang terlihat berbeda. Bukan bagian Sia soal kejar-mengejar, seharusnya itu tugas Naga. Dan Bia juga tidak terima setiap penolakan yang Naga lakukan pada Sia. Bisa tahu, Sia malu. Teramat malu. Tapi gadis itu menutupinya. Karna jika Sia berbuat seperti ini hanya karna ia ingin dekat dengan Naga karena matanya, lebih baik dengan cara lain. Jangan seperti ini. "Lo orang paling selektif yang pernah gue kenal. Bahkan untuk temenan aja lo milih-milih. Sekarang apa? Apa karna matanya? Iya?"

Sia mengembuskan napasnya pelan. Pandangannya lagi-lagi menerawang. Bingung jawaban apa yang akan ia berikan pada Bia. "Iya, karna matanya. Gue jatuh cinta sama dia karna matanya."

"Menurut lo kalau dia tau, dia bakalan sakit hati nggak?" Tanya Bia.

Sia mengedikkan bahu. "Tapi dia juga ganteng. Pinter. Jago basket. Gue juga suka itu."

"Barsha juga pinter, ganteng, anak futsal."

"Nggak. Nggak suka."

"Terus kalau misal keadaannya, mata mama lo ada di Barsha, lo bakalan suka dia juga?"

Sia diam. Tarikan napasnya teratur. Ia melirik Bia, lalu melirik jendela. "Tapi 'kan keadaannya nggak gitu." balasnya pelan. "Kenapa? Nggak suka lo gue ngedeketin Naga?"

"Nggak. Karena dia terus-terusan nolak lo, Sia. Gue tau lo malu kan?"

Sia diam. Benar. Bia benar. Tapi hatinya tidak bisa berhenti. Ia benar-benar menginginkan Naga bagaimana pun caranya. Ia juga sadar keegoisannya, lalu kenapa? Setiap manusia berhak memperjuangkan perasaannya, bukan?

"Kemarin ngapain lo di ruang guru sama Naga?" Sia malah kembali bertanya, mengabaikan pertanyaan Bia tadi. Bia cukup melihat perjuangannya, ini tentang hatinya. Biar saja Sia rasakan sendirian.

"Bakalan ada lomba matematika, jadi gue sama dia disuruh jadi partner."

Sia mengangguk. Memang dari dulu seperti itu, jadi ia tidak banyak berkomentar. Ia percaya Bia pasti mendukung hatinya, perasaannya dan cintanya pada Naga.

When You Were Nothing [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang