Chapter 58

1.7K 327 51
                                    


"Pacar?" goda Tante Hanin padaku saat aku baru 30 menit sampai di Malang, di rumah Eyang Putri dan Eyang Kakung. Oh, iya. Aku memang baru sampai di rumah eyang. Ini gara-gara si kampret yang maksa minta ke Malang. Alasannya sih biar aku gak sedih inget si duren terus. Padahal mana ada yang gitu. gak ada sedih-sedihan lagi dan gak ada melow-melow lagi. toh, si duren juga tak ada konfirmasi apa-apa lagi setelah bertemu di warung tenda seafood beberapa hari lalu. Jadi, aku simpulkan memang semuanya sudah benar-benar berakhir.

Nyesek sih, karena jujur saja Eijaz berharap dia mengatakan sesuatu untukku. Kalau memang benar-benar berpisah yah ada kata-kata yang jelas lah dari dia. si duren memang kampret.

"Apaan sih, Tante? Temen itu mah," kataku sambil menuangkan teh tawar hangat ke dalam cangkir. Malang sedang musim hujan, guys. Jadi lebih enak minum yang anget-anget tambah pisang goreng buat Yang Ti', ah mantap!.

"Ganteng, Ei. Sayang kalau dianggurin," tambahnya membuat aku mencebik.

"Suka ngadi-ngadi nih emang!" kataku sambil menunjuk Tante Hanin yang masih cekikikan dengan Eyang Putri lalu berjalan ke ruang tamu dimana Zian sedang mengobrol dengan Eyang Kakung dan Om Aksa, suami Tante Hanin.

"Kalau mau liat-liat kebun apel besok pagi-pagi bareng Om-nya Eijaz, biar seger," itu suara Eyang kakung. Pasti lagi promo kebun apel miliknya. Oh, iya, kebun apel milik eyang sudah beberapa tahun ini dikelola oleh Om Aksa. Om Aksa sebetulnya orang Bandung, tapi sudah lama tinggal di Malang dan berjodoh dengan orang Malang. Jadi katanya, sudah berasa orang Malang.

Alasan kenapa kebun di kelola oleh Om Aksa ya karena eyang kakung selain sudah sepuh, om Aksa yang juga seorang sarjana perkebunan lebih paham mengelola perkebunan dengan baik dan benar.

"Nah, ini minumannya dateng. Teh tawar hangat plus pisang goreng bikinan Yang Ti' nya Eijaz. Ayo Nak Zian dimakan dulu. hujan-hujan gini enaknya makan yang anget-anget," kata Eyang sambil mengangsurkan secangkir teh ke arah Zian.

"Makasih Eyang," Zian menerima cangkir lalu menyesap isinya setelah meniupnya pelan.

"Zian asli Jakarta?" tanya Om Aksa. Zian menggeleng pelan.

"Saya Indo, Om," Om Aksa mengangguk-anggukan kepalanya sementara aku menahan tawa. "Mama asli Bandung, Papa anak Betawi," dan pecahlah tawa Om Aksa dan eyang Kakung sementara aku bergeleng-geleng kepala. Dasar sableng!

"Kalau Zian ngomong jangan seratus persen dipercaya, Eyang, Om. Dia mah kurang satu strip, kelamaan ngobrol sama dia, sablengnya nular lo," tangan Zian sudah bersiap untuk menganiayaku tapi sepertinya tak berani. "Elu mau mukul gak jadi ya? takut ya karena ada Eyang sama Om?!" aku tergelak lalu duduk di sebelah Eyang.

"Jadi kamu ada turunan sunda juga?" Zian mengangguk. "Bandungnya di mana?"

"Buah batu, Om. Keluarga mama masih di Bandung semua. Tapi ya gitu karena kesibukan mama sama Papa jarang ke Bandung. Paling kalau ada momen-momen penting aja, kaya idul fitri atau idul adha sama hajatan," jawabnya. Si kampret nih kalau ngomong sama orang tua emang suka pencitraan, kayak orang bener aja.

"Om Aksa juga orang Bandung, Zi. Di mana Om? Aku lupa,"

"Antapani. Tapi karena dapat jodoh orang Malang, ya udah berasa jadi orang malang aja. Habis pulang ke Bandungnya sama kayak kamu, Cuma momen-momen tertentu aja," jawab Om Aksa.

Zian mengangguk lalu kembali menyesap teh tawar miliknya, "Orang Malang cantik-cantik ya, Om?" Om Aksa tergelak begitu juga dengan Eyang kakung.

Stuck WIth You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang