Chapter 2

3.3K 334 20
                                    


"Anjrit rambut udah macam aromanis lu, Ei!" seru Beno salahsatu sahabatku di kampus saat melihatku baru datang dan bergabung dengan mereka di kantin sebelum kelas kami mulai. Dan sialannya dia ngomong sambil colek-colek rambut aku lagi, kan sialan.

"Sori gue punya wudu jangan pegang-pegang rambut gue, bukan mahrom!" kataku sambil menepis tangannya yang sedang menyentuh rambutku malah sedikit memilin-milinnya.

Beno tertawa, diikuti kelima temanku yang lain yaitu Rey, Zian, Kareen dan Liana dan Cantika. Eh, kalau Kareen itu bukan Cuma sahabat tapi dia sepupuku. Kareen ini anak dari kakaknya ibu, Om Gara. Sebenernya ya, Cuy, si Kareen ini umurnya satu tahun di bawahku. Tapi gak tahu kenapa ya kok dia bisa jadi satu angkatan denganku, heran deh bener. Gak tahu otak dia yang pinter sampai-sampai bisa loncat kelas atau otak aku yang kebegoan sampai-sampai bisa satu angkatan sama bocah kayak dia? tahu deh. Mana dari jaman SMA ngintilin mulu lagi. SMA di sekolah yang sama, meskipun tidak satu kelas. Eh, giliran kuliah satu kampus juga, mana ambil jurusan yang sama lagi. heran, beneran heran.

"Bahasa lu, bikin geli!" kata Rey sambil meyeruput minumannya dalam gelas. "Ini suasana hati lu lagi apa nih kira-kira sampe-sampe lu warnain macam aromanis gini? ungu bawahnya blonde-blonde gitu," aku tergelak mendengar pertanyaan dari Rey. Inget aja si kampret kalau buat aku mewarnai rambut itu tergantung suasana hati. Pada mereka aku mengatakan bahwa warna rambutku mencerminkan suasana hatiku. Kalau biru atau abu-abu itu lagi melow, lagi sedih. Merah, blonde atau cokelat saat suasana hatiku lagi bahagia. Padahal itu semua hanya ucapan konyolku saja. Gak ada alasan yang kayak gitu tuh sebenenrnya setiap kali aku ganti warna rambut. Ini murni hanya karena hobby aja warnain rambut.

Untunglah aku kuliah di kampus seni terbesar di Jakarta. Jadi gak masalah tuh kalau mahasiswanya berpenampilan macam orang sableng kayak aku. Lain kata kalau aku kuliah di kampus tempat bapak ngajar. Bisa-bisa aku digantung dosen dengan penampilanku kayak gini.

"Ini namanya ombre, sableng!" kataku asal. "Awww...sakit!" teriakku saat Rey menggetok kepalaku dengan sendok bekas dia makan gado-gado. "Sialan ngegetoknya pake sendok bekasan elu makan gado-gado. Rambut baru gue baunya nanti perpaduan antara sambel kacang sama jigong dong?!" kataku sambil mengusap-usap kepalaku sambil membaui tanganku.

"Om Hanan gak protes lagi rambut lu udah beda lagi warnanya?" aku menggedikan bahuku acuh di depan Kareen sambil menyesap minumannya.

"Bokapnya udah kagak bisa ngomong apa-apa kali, Reen. Pusing dia ngurusin anak satu modelannya kayak si Eijaz gini," kata Rey yang membuat para sahabatku tertawa sementara aku hanya mencebik saja.

"Ini lu warnain di salon biasa?" tanya Liana padaku yang memang biasanya dia, Cantika dan Kareen yang mengantarkan aku perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Barengan mereka juga sih.

"Heem!" kataku sambil menyeruput minuman milik Liana yang tinggal setengah hingga tandas. "Kemaren iseng gara-gara pas hari sabtu dapet 2 job nyanyi. Kecapean, pengen rileks. Kemaren balik dari kampus gue ke salon deh, lu pada diajak jalan gak mau sih. Mbak Disye nawarin buat warnain lagi pas gue lagi di creambath ya udah deh, gue juga udah bosen sama warna yang kemarin," kataku menjelaskan.

"Asik dapet job! Oke semua makanan dibayarin Eijaz, gengs!" teriak Beno yang di sahuti dengan tepuk tangan teman-temanku yang lain.

"Sembarangan lu kalau ngomong! Kagak ah!" tolakku keberatan. "Enak aja! yang punya kerjaan sampingan itu bukan Cuma gue ya. Nih, si Rey juga ngajar di sekolah musik, murid privatnya juga banyak. Gajinya lebih gede dari pada bayaran seorang wedding singer kayak gue," kataku bersungut-sungut.

Stuck WIth You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang